Sabtu, 23 November 2013

LOS BATU (Part 1)


Author : @meiokris
Cast :
·         Kris EXO M a.k.a Wu Yi Fan/ Kevin Li
·         Mei a.k.a Mei Li
·         Aleyna Yilmaz a.k.a Aleyna Wu
·         Baekhyun EXO K a.k.a Byun Baekhyun/Bian Bai Xian
·         Chanyeol EXO K a.k.a Park Chanyeol/ Pu Canlie
Genre : romance, drama, angst, hurt, tragic
Rate : 16+
Length : chaptered
 ***
Lantai keramik putih yang dingin membelai telapak kaki seorang bocah berusia 8 tahun itu. Ya nampaknya dinginnya lantai itu tak menyurutkan langkahnya untuk menyeret boneka beruang seukuran tubuhnya menuju sebuah ranjang putih.
Tangan mungilnya perlahan mulai menarik tirai berwarna putih di samping ranjang ibunya, “selamat pagi ma” ia mengecup kening sang bunda yang terasa hangat di bibirnya.

Mei’s POV
Aku membuka mataku perlahan begitu menyadari ada sesuatu yang hangat menyentuh keningku.
“Aleyna” bisikku lirih.
Pandanganku yang semula kabur kini perlahan mulai menjelas dan ya… di sana aku kembali melihat mata hazelnya, mata yang sangat mirip dengan seseorang yang sangat kurindukan.
“ma, tadi Aleyna tidur bersama Roro menunggu appa pulang” jelasnya sambil mengangkat boneka beruang cokelat di tangannya.
Aku tersenyum dan mengangguk pelan. Harusnya pagi ini aku bisa sedikit lebih sehat, namun entah kenapa sakit ini kembali mendera….
“berikan eommaku suntikan pereda sakit dokter…!!!” jerit Aleyna histeris begitu melihat tubuhku kembali mengejang. Hanya sepenggal kalimat itu yang bisa kudengar..selebihnya aku merasakan tubuhku melayang….

18 april….
Wei Kasino, Hongkong.
11.00 PM
Mei, pulanglah… ini sudah tengah malam” Yixing teman seprofesiku di bar ini mengingatkan.
“pelanggan masih banyak” tolakku halus sambil meletakkan pesanan di nampan.
“biar aku saja yang melakukannya” Yixing masih berusaha membujukku.
“aku bisa sendiri..” ujarku sambil terus berlalu, berjalan mengantarkan pesanan kepada tamu di meja no. 4
“ini Tuan..” ujarku langsung menyodorkan kepada pelanggan, dia menanggalkan jaket kulit cokelatnya dan terus mengisap rokoknya, dengan mengenakan Tshirt bergambar tengkorak dan kacamata hitamnya, ia tak terlihat menonjol di antara pelanggan yang lain, hanya saja bentuk pahatan wajahnya yang sempurna membuatnya terlihat berbeda, dia sangat tampan.
Dari sudut mata lelaki –yang sepertinya umurnya hampir sama denganku- sangat jelas terpancar di wajahnya bahwa ia sedang depresi.
Pandangan lelaki ini kemudian beralih padaku, “eumm… ada lagi yang bisa kubantu?” tanyaku lagi yang berusaha memecahkan atmosfer kecanggungan ini begitu aku menyadari ia menatapku lekat di balik kacamatanya, ya bahkan aku menyadari betapa indah matanya di balik kacamata itu.
Dia tak langsung membuka mulutnya, hanya sekedar tersenyum kemudian merogoh kantong celananya dan mengeluarkan uang beberapa lembar, “ini tip untukmu mala mini, pulanglah… nanti kau celaka” pintanya.
Sorot matanya yang tajam dan suaranya yang tegas namun lembut itu menghipnotisku sesaat dan membuatku melayang dari tempatku berpijak.
Pahatan wajahnya yang sempurna dan suaranya yang memabukkan membuatku tak kuasa menahan berat tubuhku sendiri, aku hampir kehilangan keseimbanganku, “eh? Maksud tuan?” tanyaku gelagapan.
Lelaki ini mengisyaratkanku untuk mendekat, ia membisikkan sesuatu ketika aku mencondongkan tubuhku….
“pulanglah…” hanya itu yang terdengar di telingaku, ia mengatakannya perlahan sambil menghembuskan napas di dekat telingaku, aroma tembakau yang khas menyeruak masuk ke rongga hidungku. Ada sensasi yang menggelikan di sini dan cukup membuat bulu kudukku meremang.
“jangan bergerak!!” tiba-tiba saja tiga orang lelaki kekar masuk ke dalam bar dan membuat keributan..
Mereka menghancurkan isi bar dengan membabi buta.
“aaaaaaaaaaa” aku merunduk ke bawah meja mendengar suara pecahan botol dan cipratan darah di sekitarku, semuanya terasa begitu cepat…
Lelaki ini hanya diam di tempatnya, tubuhnya mengeras dengan tangan sedikit mengepal sambil menggenggam sebuah senjata api, aku bergidik melihat orang yang tadi kulayani membawa senjata api.
Saat itu aku mulai merasa pusing, bau darah dan alcohol yang tercampur membuatku mual, tiba-tiba saja aku merasakan seseorang menarik lenganku paksa dan menyeretku keluar, lelaki itu langsung memakaikan jaketnya dan memaksaku pergi, “ikuti aku” komandonya yang langsung mendekapku dan mengajakku ke luar ruangan.
Susah payah aku menghindari pecahan kaca agar tak menusuk kakiku, semuanya terasa begitu cepat dan memusingkan.
“hei…kau!!” seorang lelaki yang melihat kami langsung menembakkan rentetan peluru yang langsung dibalas oleh lelaki ini, aku berteriak dalam dekapannya begitu mendengar suara peluru di telingaku, bubuk mesiu bekas tembakan mulai menyeruak. Tubuhku bergetar hebat saking takutnya,aku tak begitu ingat… hanya bisa merasakan sebuah botol wine pecah di dekatku, entah itu mengenainya atau tidak aku tidak tahu.
Dia terus menyeretku hingga kami berhasil keluar dari bar, sekitar 200m dari bar aku merasakan lelaki ini menumpukan berat tubuhnya di punggungku, perlahan jalannya mulai melambat hingga akhirnya ia berujar, “aku tak sanggup lagi…” dan langsung roboh di depanku.
Kalau saja aku tak menangkapnya mungkin ia sudah jatuh terjerembab mencium tanah. Jantungku berdetak kencang, apapun yang terjadi aku harus menyelamatkan pria ini.
Samar-samar aku melihat di seberang sana ada dua orang anak remaja berambut hitam kelam yang aku kenal, aku langsung berteriak memanggil mereka , salah seorang dari mereka menyadari keberadaanku sampai akhirnya mereka berlari menolongku.
“kakak Mei, apa yang terjadi?” Tanya Bai Xian panic.
“Xiao Bai, Can, bantu aku menyelamatkan pria ini” sahutku terengah-engah sambil memerintahkan mereka berdua untuk memapah lelaki ini pulang ke rumah kami.
Bian Bai Xian dan Pu Canlie, atau lebih dikenal dengan Baekhyun dan Chanyeol sebagai nama asli Korea mereka adalah teman, saudara sekaligus orang terdekat yang kukenal di dunia ini selain kakak kandungku.
“pelan-pelan turunkan mereka di sini..” pintaku, lelaki ini sebenarnya masih samar hanya saja ia masih kelihatan sangat lemah, mungkin karena kelelahan…entahlah…
“kak…kalau kami harus tidur di lantai, kami rela” ujar Bai Xian kepadaku dan didukung oleh anggukan mantap dari Pu Canlie, ahh….aku baru sadar kalau aku baru saja kehilangan tempat tidurku.
Rumah kami hanya memiliki dua buah kamar, Bai Xian dan Pu Canlie sudah berbagi kamar, sisanya aku sendiri.
“tenanglah jangan risaukan aku..” ujarku sambil melirik tempat tidurku yang rapuh itu kini sedikit berdecit akibat menahan beban yang tak seringan biasanya.
Canlie diam-diam pergi ke dapur dan kembali dengan membawakan kompresan dan kotak obat di tangannya.
“bersihkan dulu luka di wajahnya..sepertinya dia terkena pecahan kaca” saran Canlie.
“yayaya” aku dengan sigap langsung meraih kompresan dan mulai membersihkan lengan-lengannya yang sedikit kotor.
Bai Xian dan Canlie permisi keluar kamar, membiarkanku  seorang diri. Aku membuka kacamatanya perlahan, sekarang aku bisa mengamati wajahnya yang tercetak sempurna tanpa cela. Sesekali ia meringis menahan sakit saat aku membersihkan luka gores di sekitar kepalanya.
“aw…” dia meringis menahan sakit begitu aku mengoleskan obat luka pada dahi kanannya yang tergores pecahan kaca.
“maaf…” begitu kataku berulang kali sampai akhirnya dia bosan mendengarnya dan tangannya meraih tanganku. Menggenggamnya sebentar kemudian melepaskannya.
Ahh otot-otot tubuhku terasa lemas, sentuhannya begitu lembut dan membuat kerja otakku juga semakin lambat. Aku hanya bisa tertegun melihat ke arah tanganku yang rasanya sudah tak bisa merasakan berbagai sentuhan lainnya. Dia… mempesona….
Ia kembali meringis sambil sesekali mulutnya berdesis menahan perih.
“sudah selesai engg….” Aku sengaja tak menyelesaikan ucapanku karena bingung harus memanggilnya apa.
“Wufan… panggil saja Wufan” sahutnya sambil tersenyum.
Aku tersenyum kikuk, “makasih sudah menyelamatkanku tadi, Wufan”
“no problem, thanks sudah merawatku” sahutnya.
Aku mengangguk kemudian permisi keluar untuk meletakkan obat dan kompres ini.
“kak Mei… kau ingin tidur berdua dengannya?” goda Bai Xian begitu saja ketika aku tengah menuju ke dapur.
“lantas… kalian ingin membagi tempat tidur denganku?” pancingku kepada Bai Xian yang tengah sibuk menonton televisi bersama Canlie. Aku berani bertaruh ucapan mereka Cuma isapan jempol belaka.
Bai Xian dan Pu Canlie saling menatap. Dalam urusan bagi membagi ranjang dengan wanita tentulah hal ini sangat sulit dilakukan. Kalaupun dilakukan di antara mereka haruslah siap mengalah dan memilih tidur di lantai.
“haduuh tiba-tiba kepalaku pening dan hidungku pilek, sepertinya aku tidak bisa mengalah kali ini...” ujar Canlie dengan nada suara menyesal.
“Bodoh! Kau mau membiarkanku mati kedinginan? Hah?” Bai Xian langsung memukul kepala Canlie.
“kau kan lebih tua daripadaku harusnya kau mengalah... Baekhyun hyung...” protes Canlie.
“kita hanya berbeda beberapa bulan dan tubuhmu jauh lebih besar daripadaku...” yang diprotes ikut berkelit tak mau mengalah.
“hei...heii... kalian ini... aku takkan mengganggu kekuasaan kalian. Aku yang akan tidur di lantai kamarku.” Ujarku menengahi.
“tapi... kau yakin dia bukan orang baik-baik?” tanya Bai Xian.
“menurutmu?” aku balik bertanya.
“aku...tak yakin... kau menemukannya di bar kan? Bisa saja kan kalau dia itu.....” Bai Xian sengaja tak melanjutkan kalimatnya.
“ahh...seandainya kita punya banyak uang mungkin kita juga sudah bermain di kasino untuk berjudi..” Canlie membelaku.
“menurutku sih dia laki-laki tinggi-tampan-kaya yang waktu itu memberikan kita makanan yang akan menjadi suami kak Mei nanti” Canlie mulai berangan.
Aku tersipu malu mendengar ucapan dari Canlie, “jangan terlalu banyak berkhayal..” aku mengingatkan, “lelaki itu sepertinya butuh bantuan, aku takkan tega meninggalkannya dalam keadaan sakit begini.. bisa-bisa nanti besok kita akan mendapat kabar kematian..” candaku.
Bai Xian hanya terdiam membisu dan Canlie sudah mulai memperlihatkan gigi-gigi rapinya kepadaku. Akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan mereka ke dapur dan kembali ke kamarku.
__
“Wufan.....” aku membuka pintu kamar tidurku sendiri dan mendapati ia yang tengah tertidur di kamarku.
Aku memutuskan untuk mengecek suhu tubuhnya, “hangat” gumamku ketika mendaratkan kedua tanganku di dahi mulusnya.
Kompresan yang kubawa ke dalam kamarku langsung kuperas dan kutempelkan pada dahinya. Ahh, aku tertegun sebentar melihat wajahnya. Meskipun kelihatannya ia sering bergulat di medan persenjataan atau apapun lah namanya. Tak dapat kupungkiri ia memiliki wajah malaikat.
Aku tersenyum untuk beberapa saat mendapati seorang lelaki yang tergolek lemah di tempat tidurku. Tanpa sadar tanganku bergerak menuju ke arah pipinya, ingin menempelkan permukaan telapak tanganku sekedar untuk menyentuh pipinya.. taapi.. niat itu kuurungkan.
Aku hanya menggumamkan ucapan selamat tidur di dekat kupingnya sebelum akhirnya memutuskan untuk menggelar tikar di bawah dan hanyut dalam bunga tidurku.
____
 21 April..
Lelaki -yang setelah aku selesai membersihkan lukanya mengenalkan dirinya sebagai Wufan- kini sudah tiga hari tinggal di rumah kami, dia mengalami gejala tipus, ketika melihat makanan saja dia sudah ingin muntah.
Aku yang tak bisa membiarkannya sendiri akhirnya terus menerus menjaganya, terkadang bahkan jatuh tertidur saat melayaninya.
 “kak Mei...”  Bai Xian yang melihatku keluar dari kamarku memanggilku.
“ya?” aku mengiringinya yang berjalan menuju balkon.
“kak... kau menyukainya?” tanyanya.
“ehemmm...” aku berdehem pelan. Kaget dengan pertanyaannya.
“jangan katakan padaku kalau kau juga sudah mencintainya? Ah kak, dia bukanlah pria baik-baik..” keluhnya, “kelihatannya dia memang orang yang berduit tapi... bagaimana kalau dia kaya dengan cara yang salah?”
“kau ini, bagaimana bisa memiliki pemikiran sebejat itu?” serangku
“jelas saja, kau bertemu dengannya di bar, tengah malam dan dalam keadaan dia membawa pistol. Kak, kau pikir aku bodoh? Kita sedang dalam masalah besar...”
aku terdiam membisu.
“bahkan kau tak tau tempat tinggalnya dimana. Bisa saja dia adalah anggota sindikat kejahatan. Kak kau sudah gila membawanya ke keluarga kita..”
“ya.. aku memang sinting, setidaknya aku masih punya naluri untuk menyelamatkannya..”
Xian tertawa getir, “menyelamatkan apa? Kau menyelamatkan orang yang akan menjerumuskan kita pada masalah yang pelik. Kau.. kau tau hidup kita sudah susah. Bahkan aku tak tau apa-apa masalah dalam negara ini karena kerjaku hanya sibuk mencari uang bersama Canlie... jangankan untuk mengenali wajah-wajah anggota mafia yang tersebar di Cina ini... menonton berita saja tak ada waktunya..”
“cuci dulu otakmu sana, otakmu sudah tercemar karena terlalu banyak menonton film yang disuguhkan oleh Xiao Can..” sindirku.
“hah? Kau pikir mafia jahat itu hanya ada dalam dunia perfilman? Bagaimana dengan pembaruan undang-undang di Jepang karena ulah para penjahat Cina? Selain mafia yang sering terlibat dengan pembunuhan, terkait masalah perdagangan antar negara dan pencucian uang, bukankah para penjahat Cina juga  benar-benar identik dengan kotoran, sampah, tempat buang air kecil masyarakat, pencuri, prostitusi, terkait segala kegiatan kekerasan, ilegal dan percabulan dilakukan semua oleh mereka. Kejahatan dari paling terendah sampai yang umum seperti pencurian penjambretan.. jelas sekali ada banyak orang yang harus kita waspadai di sini... Kak.. meskipun aku tak begitu mengerti budaya Cina yang menjunjung tinggi seorang wanita dan keperawanan atau tidak,terlepas dari tindak kejahatan yang bisa saja terjadi, kuharap kau tak menyerahkan keperawananmu padanya, kudengar para mafia dan orang jahat suka mengencani wanita... lagipula, aku lebih rela kau mati tertusuk ribuan mata pisau di tubuhmu atau terpeleset dan jatuh ke jurang tanpa dasar dalam keadaan perawan tua daripada harus melihatmu menanggung derita dan harus meninggal karena penyakit seks menular..” ujar Bai Xian panjang lebar.
Aku tak kuasa menahan tawaku sampai airmataku keluar, “hahaha bodoh... kau seenaknya saja mengatakan semua lelaki bersenjata itu mafia dan mempunyai penyakit seks menular? Teori macam apa itu? Tak usah mencemaskanku... urus saja dirimu dengan suamimu Xiao Can..” gurauku.
“hah? Kau pikir aku gay? bodoh” sahutnya kesal.
Aku langsung berkelit sebelum dia melemparkan sesuatu ke arahku dan pergi menjauhinya dengan lidah terjulur ke arahnya sebelum akhirnya menghilang masuk ke dalam kamarku.
“kak.. kudengar apabila seseorang baru pulih dari sakitnya maka keinginan untuk ‘menyerang’ akan lebih besar” celetuknya dari balik pintu kamarku.
“brengsek kau!!” umpatku. Sebenarnya aku tak berani tidur di sampingnya. Aku akan menggelar tikar di samping tempat tidurku.. paling kalau aku kedinginan aku memutuskan untuk tidur di ranjang dengan posisi duduk.
Wufan menggeliat pelan dari tidurnya.
“ahh..kau sudah bangun?” aku menoleh ke arahnya langsung pergi menghampirinya dan mengecek keadaan tubuhnya.
Syukurlah demamnya sudah turun. Hari ini Wufan makan banyak, meskipun tak begitu banyak bicara tapi ia sudah mampu menghabiskan separo lebih dari bubur yang aku buat.
“kemarilah...” Wufan berbicara meskipun matanya masih tertutup.
“apa?” tanyaku bingung saat tangannya menyentuh punggung tanganku dan menggenggamnya erat. Ada desiran halus lagi yang menghampiriku... aku yang tak pernah disentuh oleh lelaki ini tentu saja hal ini membuat kejutan luar biasa bagi jantungku.
Wufan membawa tanganku dan meletakkan di dadanya.
“apa? Jantungmu masih berdetak...” kataku bingung,
“kau bisa mendengarnya?” tanyanya masih dengan mata tertutup.
Aku mengiyakan.
Akhirnya bola matanya bergerak-gerak dan ia membuka matanya perlahan “kemarilah.. kau sudah lelah kan karena sering terjaga dan menjagaku, apalagi cuaca akhir-akhir ini sangatlah dingin... sekarang gantian aku yang akan menjaga dan menghangatkanmu..” ujar Wufan.
“heh??” aku teringat ucapan Bai Xian dan langsung mundur selangkah dari hadapannya, dia terkekeh melihat tingkahku, “gadis bodoh.. kemarilah... aku takkan menyakitimu.. aku hanya akan memelukmu. Kau tak ingin melihatku sembuh?”
“apa hubungannya?”
“Kudengar berbagi penyakit dengan orang lain dapat mempercepat proses penyembuhan” guraunya.
Aku tertawa kecil, akhirnya memutuskan untuk merebahkan diri di sampingnya. Wufan langsung mendekapku erat.. bibirnya bergerak-gerak di atas kepalaku.
“kau tau beberapa hari ini aku memimpikan gadis yang bahkan aku tak tau namanya..” dia mengelus pelan rambutku.
“siapa?”
“kau..” dia mengeratkan pelukannya, “sudah lama sekali aku tak merasa senyaman ini.. kau tau? Saat aku sakit tak ada yang mau merawatku. Mereka yang menjulukiku hidup membawa bencana, matipun membawa sial lebih memilih tak ingin merawatku ketimbang harus membiarkanku terus bertahan hidup atau melihatku mati di depannya..”
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, rasanya sulit sekali menetralisir detak jantungku yang sudah semakin tak terkontrol lagi..
“siapa namamu?” tanyanya.
“Mei Li...” jawabku sedikit terbata masih tak percaya pertanyaannya.
“Mei? Kau lahir di bulan Mei? Ahahah menggelikan...meimei..” dia tertawa kecil, aku merasakan bahunya sedikit berguncang karena tertawa.
“kau tidurlah... sudah beberapa hati ini kau kurang tidur kan? Aku akan mejagamu.. aku takut hasratku muncul saat tengah malam apabila kau terus berjaga, apalagi kalau kau terus menggeliat di pelukanku.. jadi... tidurlah.. Mei...”
Aku tertawa kecil, mendorong tubuhnya pelan... ia tak bergerak. Akhirnya aku memejamkan mataku dan karena sangat lelah aku langsung tertidur di dalam dekapannya.
**
Esoknya….
“selamat pagi di keluarga besar Bian..” ujar Bai Xian yang langsung seenaknya saja mengatakan namanya untuk mengganti nama marga kami.
“hahahah” Canlie tak henti-hentinya tersenyum pada Wufan, “kau betah tidak tinggal di sini?”
Wufan mengangguk senang meskipun tubuhnya masih lemah ia tetap memaksakan dirinya untuk duduk di meja makan.
“semalam melakukan apa saja?” serang Bai Xian.
“menyusun rencana untuk mencuci otakmu..” sahutku ketus yang langsung disambut oleh tawa dari Canlie.
“oh ya, tak kusangka akhirnya aku bisa membalas kebaikanmu yang telah menolong aku dan Baek ehmm Xian ketika kami benar-benar kesusahan..” ujar Canlie.
“ahh.. itu tak ada apa-apa kalau dibandingkan kalian yang telah menolongku..” ujar Wufan kalem sambil melirik ke arahku.
Aku yang merasa dilirik hanya bisa menundukkan kepalaku.

___

Tok..tok..tok.. aku mendengar suara pintu di ketuk dari luar, “biar aku yang membukakan..” ujarku yang langsung melesat ke luar.
“oii oii..” tamu yang kubawa masuk meminta izin untuk bisa menengok Wufan. Aku yang melirik ke arah mobil yang dikendarainya dan pakaian yang dikenakannya akhirnya percaya kepadanya dan membiarkan dia masuk.
“hei Bro...” sapa lelaki Korea ini.
“Jongdae?” tanya Wufan yang terlihat tak begitu terkejut dengan kedatangannya.
“pantas kau betah terdampar di sini bersama cewek cantik rupanya.” Celetuk Jongdae. Aku pura-pura tak mendengar.
“brengsek kau..!!” umpatnya.
“hahah kudengar kau diserang kawanan pedagang yang sedang berkelahi di bar ya? Kasihan sekali nasibmu sudah jatuh tertimpa tangga pula.” Jongdae menatap Wufan dengan tatapan sedikit prihatin.
“pulanglah kalau kau ke tempatmu kalau kau di sini hanya ingin mengejekku..” usir Wufan.
“hahaha aku ingin menjemputmu Tuan muda Wu Yi Fan..” ujar Jongdae sambil memperlihatkan deretan giginya, “aku ingin membawamu ke panti, setelah ini kau harus mengurus masalah yang terjadi di keluargamu. Oh ya, hari ini aku ditugaskan khusus untuk menjemputmu. Lihatlah...” dia memamerkan sebuah kunci mobil.
“jadi? Kau ingin menculikku?” tanya Wufan sambil terus mengunyah makanannya.
“haha aku akan membawamu ke panti hari ini..”
Aku menatap bingung ke arah mereka, tuan muda? Mobil? Anak orang kaya?
“ey.. ngomong-ngomong siapa namamu?” lelaki yang bernama Jongdae mengalihkan pandangannya dan beralih menatapku.
“jangan kau gunakan mata keranjangmu di sini...” sindirnya.
“ahahaha” sekali lagi Jongdae tertawa, “aku tahu dia milikmu. Kau lebih dulu melihatnya bukan? Baiklah aku akan mengalah daripada aku harus kehilangan pekerjaanku.”
Mereka terus bercengkrama, sementara itu sudut mataku melihat Bai Xian dan Canlie melontarkan pandangan tak suka mereka kepada Jongdae. Aku lebih memilih diam seribu bahasa.
Setelah Wufan selesai makan dia pun berpamitan padaku.
“lain kali mampir ke sini lagi kak.. kau tak ingin kan mendengar tewasnya seorang gadis yang sedang terkena malarindu bukan?” goda Canlie.
Aku memelototi Canlie dengan kesal. Bai Xian hanya terkekeh melihatku yang salah tingkah.
Wufan hanya tersenyum, “tentu saja aku akan datang karena aku masih berhutang budi padanya.”
Mereka pun memasuki mobil mewah dan perlahan meninggalkan rumah kami.
“kau lihat? Dia anak orang kaya. Tentu saja. Aston Martin One-77 silver itu saja sudah menunjukkan bahwa dia benar-benar anak orang berada..” gerutu Bai Xian, “plat nomor depannya 426. Sebuah angka yang sangat jarang ditemukan di Cina. Lain kali aku akan mengecek ke kantor polisi masalah kepemilikan plat.” Gumamnya.
Canlie yang prihatin melihat Bai Xian langsung mendekatinya dan menepuk bahunya pelan, “sepertinya ada kecemburuan sosial antara adik dengan kakaknya yang tiba-tiba bisa berkenalan dengan lelaki kaya ganteng, sudahlah, kulihat dia orang baik-baik. Setidaknya dia tak berniat mencelakakan kita ataupun kakak Mei. Apa kau tega membiarkannya menjadi perawan tua?”
Aku yang jadi bahan gunjingan langsung melotot ke arah mereka berdua dan memutuskan untuk masuk ke dalam rumah.
*

1 Mei~
 “kak.. aku dan Baekhyun eh... Bai Xian pergi dulu ya..” Canlie meminta izin kepadaku. Aku hanya tersenyum begitu ia menyebut nama Bai Xian, biasanya ia memanggil nama Bai Xian dalam bahasa Korea.
“mau kemana?” aku masih sibuk mencuci pakaian.
“main laa~”
“ahh ya, jangan pulang larut malam..” pesanku padanya.
“ahh.. kami ingin menginap di rumah teman” terangnya.
“heh? Menginap? Apa temanmu tidak keberatan?” aku menatap Canlie heran.
“ahh aku rasa tidak. Kami ada sedikit bisnis..” Canlie menaikkan kedua alisnya beberapa kali.
“ahh ya, setelah itu kau harus pulang...”
“iya kakak cantik..” cupp~ sebuah kecupan ringan mendarat di pipi kananku.
“aiishhhh!! Dasar!!” gerutuku. Anak ini memang kadang suka seenaknya saja. Terkadang melupakan umur kami yang hanya berbeda satu tahun.
Terkadang menyenangkan apabila mempunyai dua orang saudara sebaya yang kelakuannya tak sesuai dengan umurnya. Mereka mencari uang dengan kemampuan mereka sendiri. Terkadang kalau mereka benar-benar capek bekerja, mereka tak akan segan-segan menyamar menjadi pengemis dan bersandiwara di sepanjang gerbong kereta api. Meskipun kemampuan mereka dalam hal akting sudah tidak diragukan lagi tapi tetap saja mereka tak bisa mengelabui polisi. Lengah sedikit mereka bisa masuk ke tempat penampungan gelandangan dan pengemis. Untuk bisa menebus sendiri juga tetap harus membayar denda pada petugas, kalau dibiarkan dalam penampungan, aku yang tak tega.
Ting...tong...
Aku mendengar suara bel yang di tekan.
“ya...” sahutku yang langsung membasuh kedua tanganku dan berjalan menuju pintu.
Ahh.... meskipun pintu belum terbuka sepenuhnya aku langsung terpana melihat sosok laki-laki berjas hitam yang sedang berdiri di depan pintu, ia tersenyum padaku.
“kau...” aku tak bisa lagi menyelesaikan ucapanku saking gugupnya.
“selamat pagi tuan putri...” suaranya yang khas menggelitik kupingku hari ini.
Aku tersenyum, bahagia bisa melihat wajahnya sepagian ini, “kau mau apa?”
“astaga...aku baru datang sudah di todong dengan pertanyaan begitu, mana sopan santunmu? Membalas sapaanku saja tidak..” omelnya.
“ah ye” aku menghembuskan napasku, “selamat pagi juga tuan muda, ada yang bisa kubantu?” tanyaku yang langsung bertindak ala maid.
“tidak.. hanya ingin membayar hutangku kemarin. Aku membawakan ini..” dia memamerkan sebuah bungkusan plastik hitam di tangannya.
“apa itu?” aku mengamati.
“daging dan sayuran, kali ini aku yang akan memasakkan makanan untukmu..” ujarnya yang langsung nyelonong masuk ke dalam rumahku.
Sementara aku masih bengong melihat kekurang-ajarannya, “ayo masuk... jangan memasang tampang bodoh begitu..” ia mencibir.
“dasar...” aku merengut tapi tetap saja mengikutinya masuk ke dalam rumahku.
“kau tunggu di sini, biar aku yang menyiapkan semuanya...” ia menggeser kursi makanku dan mempersilakanku untuk duduk.
“kau bisa memasak?” tanyaku kagum.
“bisa...” dia berkata dengan congkak. Aku mencibir. Laki-laki ini....
Aku memperhatikannya dengan seksama, “”kau belajar memasak dari siapa?” tanyaku penasaran. Meskipun ia tak begitu cekatan tapi ia cukup lihai.
“aku belajar sendiri” sahutnya, “aw....!!” tiba-tiba dia berteriak, ia menghentikan aktivitasnya dan tangan kanannya memegangi tangan kirinya.
“kau kenapa?” aku yang kaget langsung meloncat dari tempat dudukku dan bergegas menghampirinya.
Ia meringis, “kau terluka? Tuhkan.. dapur memang tak bersahabat denganmu.. sini aku obati..” aku langsung bergegas mengambil kotak obat tapi aksiku langsung dihentikannya.
Wufan menahan tubuhku. Memutar bahuku pelan, “aku tak terluka” katanya yang langsung menangkupkan kedua pipiku dengan tangannya.
Jantungku rasanya mau jatuh, entah kenapa aku selalu terdiam, tak berkutik apalagi menolak dengan semua perlakuannya padahal baru kali ini ada seseorang yang berani menyentuhku.
Tanganku yang bebas terangkat dan menyentuh jari-jarinya yang masih menempel di pipiku. Ia menempelkan keningnya di keningku, menggesekkan hidungnya di hidungku perlahan, kemudian terkekeh pelan..
“karena kau sudah berhasil kukerjai jadi kau yang harus memasak..” perintahnya seenaknya.
“sialan...” aku merutukinya tapi akhirnya tetap menuruti permintaannya. Sambil melanjutkan pekerjaannya yang sempat terhenti aku mengusirnya, “kau tunggu di luar saja”
“kenapa? Kau takut tak bisa berkonsentrasi?” ledeknya.
“menurutmu?” balasku galak.
“hahahha... aku keluar.....” ia membuat tanda menyerah dengan melambaikan tangannya sebelum akhirnya melangkah pergi ke luar.

Tok tok tok....
Aku mendengar suara pintu di ketuk.
“biar aku yang membukakan..” teriak Wufan yang langsung melesat ke pintu depan. Aku menghentikan aktivitas memasakku dan mengikutinya dari belakang.
“Yixing..” sapaku begitu pintu terbuka. Wufan berdiam diri di depanku. Sepertinya ia mengira aku akan tetap mengikutinya sekalipun ia melarangku.
“Mei....” balasnya. Sweater tebal, sarung tangan dan masker penutup tak membuatku ragu untuk menyapanya. Yixing memang sangat sensitif dengan udara dingin sehingga memang tak bisa dipungkiri kalau ia mengoleksi banyak sweater dan pakaian tebal lainnya.
“Mei... aku ingin berbicara padamu..” pintanya padaku. Sekilas ia melirik sosok yang jauh lebih tinggi darinya. Memintaku untuk bisa mengusirnya sebentar.
“mari kita bicara di luar...” saranku yang langsung menarik tangan Yixing ke luar.
“yaaa!! Mei... aku merindukanmuu...” Yixing langsung memelukku ketika kami sedang berdua.
“aku juga..” balasku memeluknya sambil menepuk-nepuk bahunya.
“kenapa kau tak masuk kerja?”
“belakangan ini aku sedang tak enak badan.” Dustaku.
“ah ye... engg.. Mei... kau menjalin hubungan dengan dia?” sepertinya ada nada berat yang akhirnya diucapkan oleh Yixing.
“ahh  ya, kau mengenalnya?” tanyaku hati-hati.
“tidak juga, tapi aku tahu siapa dia, Mei.. lebih baik kau tidak usah menjalin hubungan dengannya, dia itu lelaki mata keranjang, bajingan yang suka bermain wanita di kasino. Dia juga anggota....gank...”
Aku menghela napas pelan, “jadi kau kesini hanya untuk memperingatkanku?”
Yixing menggeleng pelan, “aku tak tahu kau menjalin hubungan dengannya.. dengar Mei.. aku harap kau bisa mengerti ucapanku. Ada seseorang yang jauh lebih baik dari dia..” Yixing menatapku. Aku merasakan kekhawatiran di manik matanya.
Aku tersenyum samar, “kau benar-benar tak bisa membuka sedikit saja hatimu untukku?”
“a...aku... minta maaf..” ucapku pelan.
Dia mengangguk. Lebih tepatnya dia berusaha menerima ucapan penolakanku yang mungkin sudah ratusan kali kuucapkan. Yixing memang tak pernah berbuat salah terhadapku atau menyakitiku, hanya saja aku yang tak pernah bisa menganggapnya lebih, sekalipun aku memaksa menyukainya, itu takkan berlangsung baik.
Aku sudah pernah memperjuangkan hatiku, membuka hatiku perlahan untuk bisa menerima Yixing di hatiku tapi tak pernah berhasil. Malah pertemuan pertamaku dengan Wufan semakin menjauhkan perasaanku dengan Yixing.
Wufan yang membuat hatiku perdebar dan membuat jantungku berantakan hanya karena satu perhatiannya di malam itu, aku tahu aku memilih orang yang salah. Tapi aku mencintainya...
“aku pergi dulu...” Yixing akhirnya menyerah padaku, “kau jaga dirimu baik-baik...”
Aku hanya mengangguk pelan, pandangan mataku mengekori punggungnya hingga akhirnya ia menghilang di ujung jalan.
____
Di depan pintu rumahku, aku melihat Wufan yang bersandar di sana dengan kedua tangan yang terlipat di depan dadanya.
“apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku heran.
“menunggumu untuk mengusirku....” sahutnya, dia menyeringai.
“maksudmu?” kepalaku tadi sudah berputar-putar karena menolak pernyataan dari Yixing dan sekarang ia semakin menambah beban pikiranku.
“apa kau tidak takut berhadapan dengan seorang pembunuh? Anggota gank? Lelaki liar, hidung belang dan bajingan sepertiku?”
“hei...kau mengupingku ya?” aku yang menyadari arah pembicaraan ini langsung menghardiknya.
“menurutmu?” tanyanya lagi, “sudahlah, lagi pula aku sudah tak ingin menyembunyikan hal ini padamu. Semua yang dikatakan teman lelakimu itu benar. Aku mengaku...” dia menatap tajam ke arahku, menunggu ekspresiku berubah saat ia mengakui statusnya yang sebenarnya.
Untuk sesaat aku hanya diam membisu. Aku tak bisa menggunakan akal sehatku dengan baik. Apakah aku harus menjauhi Wufan? Mundur teratur dan perlahan menghilang dari dunianya? Jika aku terus bersama dengannya lantas bagaimana dengan keselamatan keluargaku.. eng... maksudku keselamatan Xiao Xian dan Xiao Can yang telah kuanggap sebagai sahabat sekaligus kerabat terdekatku. Tapi... aku tak menemukan sesuatu yang janggal dari sikapnya selama ini, seandainya dia memang ingin melukaiku dan keluargaku, apa yang harus didendamkan dari kami? Kami hanya tiga anak sebatang kara yang mencoba peruntungan dengan meninggalkan panti dan mencoba hidup bersama...
Entah untuk saat ini aku memang benar-benar tak bisa berpikir dengan benar. Hati dan pikiranku menginginkan Wufan. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku mengalami getaran seperti ini. Sesuatu yang membuatku sesak napas dan tak bisa tidur.
“lalu... untuk apa kau hadir di hidupku? Apa salahku? Apa jangan-jangan kau menaruh dendam dengan kedua adikku?” suaraku rasanya langsung hilang, napasku tercekat.
“aku tak bermaksud mengganggumu Mei... aku juga tak tahu kenapa tapi... kau memang terlalu menarik untukku..” ia mengucapkannya dengan nada penyesalan.
“dasar lelaki mata keranjang! Tukang gombal! Kau memang benar-benar pembawa sial!” cercaku.
“tapi kau tetap saja menerimaku..” oloknya.
Aku langsung tersipu malu, darahku rasanya menyembur ke seluruh urat-urat mukaku.
“mulai sekarang kau berhenti bekerja di bar itu dan pindah rumah..” perintahnya.
“lantas aku harus makan apa?” protesku.
“mulai sekarang aku yang akan menanggung biaya hidupmu..” ujar Wufan datar.
“hah? Kau pikir aku gadis matre seperti gadis-gadismu di kasino itu?” mataku membelalak mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya.
“anggap saja aku menebus semua kesialan yang telah kau terima sejak kau mengenalku,..”
Aku terkekeh, “sudah berapa ratus wanita yang kau janjikan seperti itu? Hah?”
“dasar bodoh! Bisakah kau menyisakan sedikit pikiran positifmu untukku? Kau gadis pertama yang aku tawari. Biasanya aku langsung mencampakkan mereka sehabis kami selesai melakukannya.” Kali ini nada bicaranya sedikit meninggi.
Aku tersenyum sinis, “tak bisakah kau sedikit saja menghargai seorang wanita?”
“aku menghargai. Mereka saja yang ‘mengundangku’. Lelaki mana yang tak tertarik dengan undangan menggiurkan seperti itu? Lelaki normal manapun pasti bernafsu, kalau ia tak tertarik dengan wanita itu berarti ia tak normal.”
“brengsek!!” umpatku, “laki-laki kalau tak bajingan yaa keparat...” aku mendorong tubuhnya pelan dan masuk ke dalam rumah.

6 Mei..
“happy birthday to you and you” Canlie bersenandung riang menyanyikan lagu selamat ulang tahun untukku dan Xiao Bai.
“hahaha xiexie” aku dan Bai Xian meniup deretan lilin-lilin kecil di atas sebuah cake berukuran sedang.
“ulang tahun kalian tidak spesial karena dirayakan bersama, akulah yang spesial, hahaha” Canlie terbahak sambil memperlihatkan deretan giginya.
“menurutmu begitu? Ayo kita buktikan” aku mencolek krim kue dan menoleskan di atas hidung Canlie.
“yaakk!! Chanyeol-ahh~ kau yang akan mendapat kesialan hari ini” Bai Xian langsung mengoleskan krim kue ke tangannya dan mulai menyerang Canlie.
“hei-hei kalian!! ><” Xiao Can langsung melompat dari tempat duduknya.
Tin...tin... aku mendengar bunyi klakson mobil yang langsung menghentikan aksi kami.
            “ahh..pasti si ketua mafia” omel Xiao Bai, “siapa lagi tamu yang sering mampir ke sini kalau bukan dia”
“kenapa kau bersikap sangat sensitif dengan kedatangan lelaki kaya itu? Sedang PMS kah?” goda Canlie yang langsung disambut oleh sebuah kain lap terbang dari Bai Xian.
“tutup mulutmu, sialan” gerutunya.
Aku hanya terkekeh melihat tingkah mereka dan memutuskan keluar.
“kak Mei, kau benar-benar akan meninggalkan kami dan pergi bersama lelaki itu?” tanya Bai Xian.
“hmm” aku mengangguk, “hari ini dia mengajakku memberikan sembako di tempat penampungan anak gelandangan dan pengemis”
“oh...kegiatan sosial” desis Bai Xian.
Aku tersenyum samar dan langsung pergi keluar.
“masuk” hanya itu yang kudengar dari balik sebuah kaca sebuah mobil mewah yang diturunkan sedikit, aku mengangguk pelan sambil memasuki mobil.
“jadi kita akan mulai dari panti yang mana??” tanyaku pada seseorang berjaket kulit cokelat.
“ke taman rekreasi” dia tersenyum samar.
“yakk!! Bukankah kau sudah berjanji untuk mem...” omonganku langsung saja dipotong.
“masalah janji, aku takkan pernah mengingkari, yang jelas sembako sudah dibagikan oleh Jongdae dari tadi pagi, daaaan aku sudah menyiapkan dua tiket nonton konser gratis music jazz untuk Xiao Bai dan Xiao Can” Wufan menyetir dengan fokus tanpa sedikitpun menoleh ke arahku.
Aku melirik sadis, “dasar licik” gerutuku.
Akhirnya setelah aku bermain seharian di taman rekreasi dengannya, dia mengajakku pulang sebelum akhirnya dia membelokkan mobilnya ke arah sebuah pantai untuk melihat matahari terbenam.
“haaaaah, hari ini aku merasa menjadi manusia” dia mengatakan sambil bersandar di dalam jok mobilnya menikmati senja yang kini kian memudar mendekati malam.
“maksudmu?” tanyaku bingung.
“selama ini aku pikir aku tak bisa sebebas ini, yah menjadi layaknya seorang manusia normal” dia menghirup udara dan menghembuskannya perlahan, “aku rasa selama ini aku hanya bisa menjadi seorang lelaki yang disegani”
Wufan memiringkan tubuhnya sedikit, “Mei Li....”
“ya?” sahutku.
“kau cantik” pujinya.
“aku tahu” sahutku pelan.
“kau tak ingin mengatakan aku tampan?”
“aku sudah terlalu bosan mengatakan hal itu dalam pikiran dan hatiku jadi kupikir tak usah diperjelas lagi” aku memutar bola mataku.
Dia terkekeh, “Mei Li, apa kau tak takut berdekatan dengan penjahat sepertiku? Apa yang dikatakan temanmu benar, aku bukanlah pria baik-baik” jelasnya.
“kalau semua orang takut akan suatu ketakutan yang sama, mungkin tidak ada teroris yang beristri” lagi-lagi aku memutar bolamataku.
“tapi aku bukan teroris” sahutnya lagi. dibelainya ujung rambutku yang berwarna kecoklatan diterpa cahaya matahari.
Wufan menatapku lekat sampai akhirnya ia mencondongkan tubuhnya, ia mengecup pelan keningku, “aku rasa aku tak salah menemukanmu waktu itu” gumamnya, entah siapa yang memulai sampai akhirnya bibir kami saling menyentuh, aku merasakan aroma tembakau yang khas dari aroma napasnya. Aku menutup mataku pelan merasakan bibirnya yang bergerak pelan memagut bibirku dan lidah kami saling membelai, seakan mengeksplorasi atas jutaan perasaan bahagia yang kurasakan selama ini. aku tak pandai dalam urusan berciuman, saat bibirnya menyapu pelan bibirku, jantungku semakin berdetak kencang dan napasku memburu, damn! He is a good kisser.
Perlahan aku merasakan tangannya yang memegang lenganku kini mulai turun dan membelai pahaku, sial! Apa yang akan dia lakukan?? belum sempat mulutku menganga, kami dikejutkan oleh sebuah ledakan di kaca mobil.
Wufan menghentikan kegiatannya dan langsung mengecek kaca mobilnya yang tergores oleh sebuah benda, peluru?
Mata Wufan berkilat menahan amarah, “brengsek, tak bisakah mereka sabar sedikit denganku??” ia memutar mobilnya melaju sementara aku bergidik ngeri melihat seseorang yang berusaha mengejar kami.

----TBC---