Author : @meiokris
Cast :
·
Kris EXO M a.k.a Wu Yi Fan/ Kevin Li
·
Mei a.k.a Mei Li
·
Aleyna Yilmaz a.k.a
Aleyna Wu
·
Baekhyun EXO K a.k.a Byun Baekhyun/Bian Bai
Xian
·
Chanyeol EXO K a.k.a Park Chanyeol/ Pu Canlie
Genre : romance, drama, angst, hurt, tragic
Rate : 16+
Length : chaptered
***
Lantai
keramik putih yang dingin membelai telapak kaki seorang bocah berusia 8 tahun
itu. Ya nampaknya dinginnya lantai itu tak menyurutkan langkahnya untuk
menyeret boneka beruang seukuran tubuhnya menuju sebuah ranjang putih.
Tangan
mungilnya perlahan mulai menarik tirai berwarna putih di samping ranjang
ibunya, “selamat pagi ma” ia mengecup kening sang bunda yang terasa hangat di
bibirnya.
Mei’s
POV
Aku membuka
mataku perlahan begitu menyadari ada sesuatu yang hangat menyentuh keningku.
“Aleyna”
bisikku lirih.
Pandanganku
yang semula kabur kini perlahan mulai menjelas dan ya… di sana aku kembali
melihat mata hazelnya, mata yang sangat mirip dengan seseorang yang sangat
kurindukan.
“ma, tadi
Aleyna tidur bersama Roro menunggu appa pulang” jelasnya sambil mengangkat
boneka beruang cokelat di tangannya.
Aku
tersenyum dan mengangguk pelan. Harusnya pagi ini aku bisa sedikit lebih sehat,
namun entah kenapa sakit ini kembali mendera….
“berikan
eommaku suntikan pereda sakit dokter…!!!” jerit Aleyna histeris begitu melihat
tubuhku kembali mengejang. Hanya sepenggal kalimat itu yang bisa
kudengar..selebihnya aku merasakan tubuhku melayang….
18
april….
Wei Kasino,
Hongkong.
11.00 PM
“Mei,
pulanglah… ini sudah tengah malam” Yixing teman seprofesiku di bar ini
mengingatkan.
“pelanggan
masih banyak” tolakku halus sambil meletakkan pesanan di nampan.
“biar aku
saja yang melakukannya” Yixing masih berusaha membujukku.
“aku bisa
sendiri..” ujarku sambil terus berlalu, berjalan mengantarkan pesanan kepada
tamu di meja no. 4
“ini Tuan..”
ujarku langsung menyodorkan kepada pelanggan, dia menanggalkan jaket kulit
cokelatnya dan terus mengisap rokoknya, dengan mengenakan Tshirt bergambar tengkorak
dan kacamata hitamnya, ia tak terlihat menonjol di antara pelanggan yang lain,
hanya saja bentuk pahatan wajahnya yang sempurna membuatnya terlihat berbeda,
dia sangat tampan.
Dari sudut
mata lelaki –yang sepertinya umurnya hampir sama denganku- sangat jelas
terpancar di wajahnya bahwa ia sedang depresi.
Pandangan
lelaki ini kemudian beralih padaku, “eumm… ada lagi yang bisa kubantu?” tanyaku
lagi yang berusaha memecahkan atmosfer kecanggungan ini begitu aku menyadari ia
menatapku lekat di balik kacamatanya, ya bahkan aku menyadari betapa indah matanya
di balik kacamata itu.
Dia tak
langsung membuka mulutnya, hanya sekedar tersenyum kemudian merogoh kantong
celananya dan mengeluarkan uang beberapa lembar, “ini tip untukmu mala mini,
pulanglah… nanti kau celaka” pintanya.
Sorot
matanya yang tajam dan suaranya yang tegas namun lembut itu menghipnotisku
sesaat dan membuatku melayang dari tempatku berpijak.
Pahatan
wajahnya yang sempurna dan suaranya yang memabukkan membuatku tak kuasa menahan
berat tubuhku sendiri, aku hampir kehilangan keseimbanganku, “eh? Maksud tuan?”
tanyaku gelagapan.
Lelaki ini
mengisyaratkanku untuk mendekat, ia membisikkan sesuatu ketika aku
mencondongkan tubuhku….
“pulanglah…”
hanya itu yang terdengar di telingaku, ia mengatakannya perlahan sambil
menghembuskan napas di dekat telingaku, aroma tembakau yang khas menyeruak
masuk ke rongga hidungku. Ada sensasi yang menggelikan di sini dan cukup
membuat bulu kudukku meremang.
“jangan
bergerak!!” tiba-tiba saja tiga orang lelaki kekar masuk ke dalam bar dan
membuat keributan..
Mereka
menghancurkan isi bar dengan membabi buta.
“aaaaaaaaaaa”
aku merunduk ke bawah meja mendengar suara pecahan botol dan cipratan darah di
sekitarku, semuanya terasa begitu cepat…
Lelaki ini
hanya diam di tempatnya, tubuhnya mengeras dengan tangan sedikit mengepal
sambil menggenggam sebuah senjata api, aku bergidik melihat orang yang tadi
kulayani membawa senjata api.
Saat itu aku
mulai merasa pusing, bau darah dan alcohol yang tercampur membuatku mual,
tiba-tiba saja aku merasakan seseorang menarik lenganku paksa dan menyeretku
keluar, lelaki itu langsung memakaikan jaketnya dan memaksaku pergi, “ikuti
aku” komandonya yang langsung mendekapku dan mengajakku ke luar ruangan.
Susah payah
aku menghindari pecahan kaca agar tak menusuk kakiku, semuanya terasa begitu
cepat dan memusingkan.
“hei…kau!!”
seorang lelaki yang melihat kami langsung menembakkan rentetan peluru yang
langsung dibalas oleh lelaki ini, aku berteriak dalam dekapannya begitu
mendengar suara peluru di telingaku, bubuk mesiu bekas tembakan mulai
menyeruak. Tubuhku bergetar hebat saking takutnya,aku tak begitu ingat… hanya
bisa merasakan sebuah botol wine pecah di dekatku, entah itu mengenainya atau
tidak aku tidak tahu.
Dia terus
menyeretku hingga kami berhasil keluar dari bar, sekitar 200m dari bar aku
merasakan lelaki ini menumpukan berat tubuhnya di punggungku, perlahan jalannya
mulai melambat hingga akhirnya ia berujar, “aku tak sanggup lagi…” dan langsung
roboh di depanku.
Kalau saja
aku tak menangkapnya mungkin ia sudah jatuh terjerembab mencium tanah.
Jantungku berdetak kencang, apapun yang terjadi aku harus menyelamatkan pria
ini.
Samar-samar
aku melihat di seberang sana ada dua orang anak remaja berambut hitam kelam
yang aku kenal, aku langsung berteriak memanggil mereka , salah seorang dari
mereka menyadari keberadaanku sampai akhirnya mereka berlari menolongku.
“kakak Mei,
apa yang terjadi?” Tanya Bai Xian panic.
“Xiao Bai,
Can, bantu aku menyelamatkan pria ini” sahutku terengah-engah sambil
memerintahkan mereka berdua untuk memapah lelaki ini pulang ke rumah kami.
Bian Bai
Xian dan Pu Canlie, atau lebih dikenal dengan Baekhyun dan Chanyeol sebagai
nama asli Korea mereka adalah teman, saudara sekaligus orang terdekat yang
kukenal di dunia ini selain kakak kandungku.
“pelan-pelan
turunkan mereka di sini..” pintaku, lelaki ini sebenarnya masih samar hanya
saja ia masih kelihatan sangat lemah, mungkin karena kelelahan…entahlah…
“kak…kalau
kami harus tidur di lantai, kami rela” ujar Bai Xian kepadaku dan didukung oleh
anggukan mantap dari Pu Canlie, ahh….aku baru sadar kalau aku baru saja
kehilangan tempat tidurku.
Rumah kami
hanya memiliki dua buah kamar, Bai Xian dan Pu Canlie sudah berbagi kamar,
sisanya aku sendiri.
“tenanglah
jangan risaukan aku..” ujarku sambil melirik tempat tidurku yang rapuh itu kini
sedikit berdecit akibat menahan beban yang tak seringan biasanya.
Canlie
diam-diam pergi ke dapur dan kembali dengan membawakan kompresan dan kotak obat
di tangannya.
“bersihkan
dulu luka di wajahnya..sepertinya dia terkena pecahan kaca” saran Canlie.
“yayaya” aku
dengan sigap langsung meraih kompresan dan mulai membersihkan lengan-lengannya
yang sedikit kotor.
Bai Xian dan
Canlie permisi keluar kamar, membiarkanku
seorang diri. Aku membuka kacamatanya perlahan, sekarang aku bisa
mengamati wajahnya yang tercetak sempurna tanpa cela. Sesekali ia meringis
menahan sakit saat aku membersihkan luka gores di sekitar kepalanya.
“aw…” dia
meringis menahan sakit begitu aku mengoleskan obat luka pada dahi kanannya yang
tergores pecahan kaca.
“maaf…”
begitu kataku berulang kali sampai akhirnya dia bosan mendengarnya dan
tangannya meraih tanganku. Menggenggamnya sebentar kemudian melepaskannya.
Ahh
otot-otot tubuhku terasa lemas, sentuhannya begitu lembut dan membuat kerja
otakku juga semakin lambat. Aku hanya bisa tertegun melihat ke arah tanganku
yang rasanya sudah tak bisa merasakan berbagai sentuhan lainnya. Dia…
mempesona….
Ia kembali
meringis sambil sesekali mulutnya berdesis menahan perih.
“sudah
selesai engg….” Aku sengaja tak menyelesaikan ucapanku karena bingung harus
memanggilnya apa.
“Wufan…
panggil saja Wufan” sahutnya sambil tersenyum.
Aku
tersenyum kikuk, “makasih sudah menyelamatkanku tadi, Wufan”
“no problem,
thanks sudah merawatku” sahutnya.
Aku
mengangguk kemudian permisi keluar untuk meletakkan obat dan kompres ini.
“kak Mei…
kau ingin tidur berdua dengannya?” goda Bai Xian begitu saja ketika aku tengah
menuju ke dapur.
“lantas…
kalian ingin membagi tempat tidur denganku?” pancingku kepada Bai Xian yang
tengah sibuk menonton televisi bersama Canlie. Aku berani bertaruh ucapan
mereka Cuma isapan jempol belaka.
Bai Xian dan Pu Canlie saling menatap. Dalam
urusan bagi membagi ranjang dengan wanita tentulah hal ini sangat sulit
dilakukan. Kalaupun dilakukan di antara mereka haruslah siap mengalah dan
memilih tidur di lantai.
“haduuh tiba-tiba kepalaku pening dan
hidungku pilek, sepertinya aku tidak bisa mengalah kali ini...” ujar Canlie
dengan nada suara menyesal.
“Bodoh! Kau mau membiarkanku mati kedinginan?
Hah?” Bai Xian langsung memukul kepala Canlie.
“kau kan lebih tua daripadaku harusnya kau
mengalah... Baekhyun hyung...” protes Canlie.
“kita hanya berbeda beberapa bulan dan
tubuhmu jauh lebih besar daripadaku...” yang diprotes ikut berkelit tak mau
mengalah.
“hei...heii... kalian ini... aku takkan
mengganggu kekuasaan kalian. Aku yang akan tidur di lantai kamarku.” Ujarku
menengahi.
“tapi... kau yakin dia bukan orang
baik-baik?” tanya Bai Xian.
“menurutmu?” aku balik bertanya.
“aku...tak yakin... kau menemukannya di bar kan?
Bisa saja kan kalau dia itu.....” Bai Xian sengaja tak melanjutkan kalimatnya.
“ahh...seandainya kita punya banyak uang
mungkin kita juga sudah bermain di kasino untuk berjudi..” Canlie membelaku.
“menurutku sih dia laki-laki
tinggi-tampan-kaya yang waktu itu memberikan kita makanan yang akan menjadi
suami kak Mei nanti” Canlie mulai berangan.
Aku tersipu malu mendengar ucapan dari
Canlie, “jangan terlalu banyak berkhayal..” aku mengingatkan, “lelaki itu
sepertinya butuh bantuan, aku takkan tega meninggalkannya dalam keadaan sakit
begini.. bisa-bisa nanti besok kita akan mendapat kabar kematian..” candaku.
Bai Xian hanya terdiam membisu dan Canlie
sudah mulai memperlihatkan gigi-gigi rapinya kepadaku. Akhirnya aku memutuskan
untuk meninggalkan mereka ke dapur dan kembali ke kamarku.
__
“Wufan.....” aku membuka pintu kamar tidurku
sendiri dan mendapati ia yang tengah tertidur di kamarku.
Aku memutuskan untuk mengecek suhu tubuhnya,
“hangat” gumamku ketika mendaratkan kedua tanganku di dahi mulusnya.
Kompresan yang kubawa ke dalam kamarku
langsung kuperas dan kutempelkan pada dahinya. Ahh, aku tertegun sebentar
melihat wajahnya. Meskipun kelihatannya ia sering bergulat di medan
persenjataan atau apapun lah namanya. Tak dapat kupungkiri ia memiliki wajah malaikat.
Aku tersenyum untuk beberapa saat mendapati
seorang lelaki yang tergolek lemah di tempat tidurku. Tanpa sadar tanganku
bergerak menuju ke arah pipinya, ingin menempelkan permukaan telapak tanganku
sekedar untuk menyentuh pipinya.. taapi.. niat itu kuurungkan.
Aku hanya menggumamkan ucapan selamat tidur
di dekat kupingnya sebelum akhirnya memutuskan untuk menggelar tikar di bawah
dan hanyut dalam bunga tidurku.
____
21 April..
Lelaki -yang setelah aku selesai membersihkan
lukanya mengenalkan dirinya sebagai Wufan- kini sudah tiga hari tinggal di
rumah kami, dia mengalami gejala tipus, ketika melihat makanan saja dia sudah
ingin muntah.
Aku yang tak bisa membiarkannya sendiri
akhirnya terus menerus menjaganya, terkadang bahkan jatuh tertidur saat melayaninya.
“kak Mei...” Bai Xian yang
melihatku keluar dari kamarku memanggilku.
“ya?” aku mengiringinya yang berjalan menuju
balkon.
“kak... kau menyukainya?” tanyanya.
“ehemmm...” aku berdehem pelan. Kaget dengan
pertanyaannya.
“jangan katakan padaku kalau kau juga sudah
mencintainya? Ah kak, dia bukanlah pria baik-baik..” keluhnya, “kelihatannya
dia memang orang yang berduit tapi... bagaimana kalau dia kaya dengan cara yang
salah?”
“kau ini, bagaimana bisa memiliki pemikiran
sebejat itu?” serangku
“jelas saja, kau bertemu dengannya di bar,
tengah malam dan dalam keadaan dia membawa pistol. Kak, kau pikir aku bodoh?
Kita sedang dalam masalah besar...”
aku terdiam membisu.
“bahkan kau tak tau tempat tinggalnya dimana.
Bisa saja dia adalah anggota sindikat kejahatan. Kak kau sudah gila membawanya
ke keluarga kita..”
“ya.. aku memang sinting, setidaknya aku
masih punya naluri untuk menyelamatkannya..”
Xian tertawa getir, “menyelamatkan apa? Kau
menyelamatkan orang yang akan menjerumuskan kita pada masalah yang pelik. Kau..
kau tau hidup kita sudah susah. Bahkan aku tak tau apa-apa masalah dalam negara
ini karena kerjaku hanya sibuk mencari uang bersama Canlie... jangankan untuk
mengenali wajah-wajah anggota mafia yang tersebar di Cina ini... menonton
berita saja tak ada waktunya..”
“cuci dulu otakmu sana, otakmu sudah tercemar
karena terlalu banyak menonton film yang disuguhkan oleh Xiao Can..” sindirku.
“hah? Kau pikir mafia jahat itu hanya ada
dalam dunia perfilman? Bagaimana dengan pembaruan undang-undang di Jepang
karena ulah para penjahat Cina? Selain mafia yang sering terlibat dengan
pembunuhan, terkait masalah perdagangan antar negara dan pencucian uang,
bukankah para penjahat Cina juga benar-benar identik dengan kotoran,
sampah, tempat buang air kecil masyarakat, pencuri, prostitusi, terkait segala
kegiatan kekerasan, ilegal dan percabulan dilakukan semua oleh mereka.
Kejahatan dari paling terendah sampai yang umum seperti pencurian
penjambretan.. jelas sekali ada banyak orang yang harus kita waspadai di sini...
Kak.. meskipun aku tak begitu mengerti budaya Cina yang menjunjung tinggi
seorang wanita dan keperawanan atau tidak,terlepas dari tindak kejahatan yang
bisa saja terjadi, kuharap kau tak menyerahkan keperawananmu padanya, kudengar
para mafia dan orang jahat suka mengencani wanita... lagipula, aku lebih rela
kau mati tertusuk ribuan mata pisau di tubuhmu atau terpeleset dan jatuh ke
jurang tanpa dasar dalam keadaan perawan tua daripada harus melihatmu
menanggung derita dan harus meninggal karena penyakit seks menular..” ujar Bai
Xian panjang lebar.
Aku tak kuasa menahan tawaku sampai airmataku
keluar, “hahaha bodoh... kau seenaknya saja mengatakan semua lelaki bersenjata
itu mafia dan mempunyai penyakit seks menular? Teori macam apa itu? Tak usah
mencemaskanku... urus saja dirimu dengan suamimu Xiao Can..” gurauku.
“hah? Kau pikir aku gay? bodoh” sahutnya
kesal.
Aku langsung berkelit sebelum dia melemparkan
sesuatu ke arahku dan pergi menjauhinya dengan lidah terjulur ke arahnya
sebelum akhirnya menghilang masuk ke dalam kamarku.
“kak.. kudengar apabila seseorang baru pulih
dari sakitnya maka keinginan untuk ‘menyerang’ akan lebih besar” celetuknya
dari balik pintu kamarku.
“brengsek kau!!” umpatku. Sebenarnya aku tak
berani tidur di sampingnya. Aku akan menggelar tikar di samping tempat
tidurku.. paling kalau aku kedinginan aku memutuskan untuk tidur di ranjang
dengan posisi duduk.
Wufan menggeliat pelan dari tidurnya.
“ahh..kau sudah bangun?” aku menoleh ke
arahnya langsung pergi menghampirinya dan mengecek keadaan tubuhnya.
Syukurlah demamnya sudah turun. Hari ini
Wufan makan banyak, meskipun tak begitu banyak bicara tapi ia sudah mampu
menghabiskan separo lebih dari bubur yang aku buat.
“kemarilah...” Wufan berbicara meskipun
matanya masih tertutup.
“apa?” tanyaku bingung saat tangannya
menyentuh punggung tanganku dan menggenggamnya erat. Ada desiran halus lagi
yang menghampiriku... aku yang tak pernah disentuh oleh lelaki ini tentu saja
hal ini membuat kejutan luar biasa bagi jantungku.
Wufan membawa tanganku dan meletakkan di
dadanya.
“apa? Jantungmu masih berdetak...” kataku
bingung,
“kau bisa mendengarnya?” tanyanya masih
dengan mata tertutup.
Aku mengiyakan.
Akhirnya bola matanya bergerak-gerak dan ia
membuka matanya perlahan “kemarilah.. kau sudah lelah kan karena sering terjaga
dan menjagaku, apalagi cuaca akhir-akhir ini sangatlah dingin... sekarang
gantian aku yang akan menjaga dan menghangatkanmu..” ujar Wufan.
“heh??” aku teringat ucapan Bai Xian dan
langsung mundur selangkah dari hadapannya, dia terkekeh melihat tingkahku,
“gadis bodoh.. kemarilah... aku takkan menyakitimu.. aku hanya akan memelukmu.
Kau tak ingin melihatku sembuh?”
“apa hubungannya?”
“Kudengar berbagi penyakit dengan orang lain
dapat mempercepat proses penyembuhan” guraunya.
Aku tertawa kecil, akhirnya memutuskan untuk
merebahkan diri di sampingnya. Wufan langsung mendekapku erat.. bibirnya
bergerak-gerak di atas kepalaku.
“kau tau beberapa hari ini aku memimpikan
gadis yang bahkan aku tak tau namanya..” dia mengelus pelan rambutku.
“siapa?”
“kau..” dia mengeratkan pelukannya, “sudah
lama sekali aku tak merasa senyaman ini.. kau tau? Saat aku sakit tak ada yang
mau merawatku. Mereka yang menjulukiku hidup membawa bencana, matipun membawa
sial lebih memilih tak ingin merawatku ketimbang harus membiarkanku terus
bertahan hidup atau melihatku mati di depannya..”
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali,
rasanya sulit sekali menetralisir detak jantungku yang sudah semakin tak
terkontrol lagi..
“siapa namamu?” tanyanya.
“Mei Li...” jawabku sedikit terbata masih tak
percaya pertanyaannya.
“Mei? Kau lahir di bulan Mei? Ahahah
menggelikan...meimei..” dia tertawa kecil, aku merasakan bahunya sedikit
berguncang karena tertawa.
“kau tidurlah... sudah beberapa hati ini kau
kurang tidur kan? Aku akan mejagamu.. aku takut hasratku muncul saat tengah
malam apabila kau terus berjaga, apalagi kalau kau terus menggeliat di
pelukanku.. jadi... tidurlah.. Mei...”
Aku tertawa kecil, mendorong tubuhnya
pelan... ia tak bergerak. Akhirnya aku memejamkan mataku dan karena sangat
lelah aku langsung tertidur di dalam dekapannya.
**
Esoknya….
“selamat pagi di keluarga besar Bian..” ujar
Bai Xian yang langsung seenaknya saja mengatakan namanya untuk mengganti nama
marga kami.
“hahahah” Canlie tak henti-hentinya tersenyum
pada Wufan, “kau betah tidak tinggal di sini?”
Wufan mengangguk senang meskipun tubuhnya
masih lemah ia tetap memaksakan dirinya untuk duduk di meja makan.
“semalam melakukan apa saja?” serang Bai
Xian.
“menyusun rencana untuk mencuci otakmu..” sahutku
ketus yang langsung disambut oleh tawa dari Canlie.
“oh ya, tak kusangka akhirnya aku bisa
membalas kebaikanmu yang telah menolong aku dan Baek ehmm Xian ketika kami
benar-benar kesusahan..” ujar Canlie.
“ahh.. itu tak ada apa-apa kalau dibandingkan
kalian yang telah menolongku..” ujar Wufan kalem sambil melirik ke arahku.
Aku yang merasa dilirik hanya bisa
menundukkan kepalaku.
___
Tok..tok..tok.. aku mendengar suara pintu di
ketuk dari luar, “biar aku yang membukakan..” ujarku yang langsung melesat ke
luar.
“oii oii..” tamu yang kubawa masuk meminta
izin untuk bisa menengok Wufan. Aku yang melirik ke arah mobil yang
dikendarainya dan pakaian yang dikenakannya akhirnya percaya kepadanya dan
membiarkan dia masuk.
“hei Bro...” sapa lelaki Korea ini.
“Jongdae?” tanya Wufan yang terlihat tak
begitu terkejut dengan kedatangannya.
“pantas kau betah terdampar di sini bersama
cewek cantik rupanya.” Celetuk Jongdae. Aku pura-pura tak mendengar.
“brengsek kau..!!” umpatnya.
“hahah kudengar kau diserang kawanan pedagang
yang sedang berkelahi di bar ya? Kasihan sekali nasibmu sudah jatuh tertimpa
tangga pula.” Jongdae menatap Wufan dengan tatapan sedikit prihatin.
“pulanglah kalau kau ke tempatmu kalau kau di
sini hanya ingin mengejekku..” usir Wufan.
“hahaha aku ingin menjemputmu Tuan muda Wu Yi
Fan..” ujar Jongdae sambil memperlihatkan deretan giginya, “aku ingin membawamu
ke panti, setelah ini kau harus mengurus masalah yang terjadi di keluargamu. Oh
ya, hari ini aku ditugaskan khusus untuk menjemputmu. Lihatlah...” dia
memamerkan sebuah kunci mobil.
“jadi? Kau ingin menculikku?” tanya Wufan
sambil terus mengunyah makanannya.
“haha aku akan membawamu ke panti hari ini..”
Aku menatap bingung ke arah mereka, tuan
muda? Mobil? Anak orang kaya?
“ey.. ngomong-ngomong siapa namamu?” lelaki
yang bernama Jongdae mengalihkan pandangannya dan beralih menatapku.
“jangan kau gunakan mata keranjangmu di
sini...” sindirnya.
“ahahaha” sekali lagi Jongdae tertawa, “aku
tahu dia milikmu. Kau lebih dulu melihatnya bukan? Baiklah aku akan mengalah
daripada aku harus kehilangan pekerjaanku.”
Mereka terus bercengkrama, sementara itu
sudut mataku melihat Bai Xian dan Canlie melontarkan pandangan tak suka mereka
kepada Jongdae. Aku lebih memilih diam seribu bahasa.
Setelah Wufan selesai makan dia pun
berpamitan padaku.
“lain kali mampir ke sini lagi kak.. kau tak
ingin kan mendengar tewasnya seorang gadis yang sedang terkena malarindu
bukan?” goda Canlie.
Aku memelototi Canlie dengan kesal. Bai Xian
hanya terkekeh melihatku yang salah tingkah.
Wufan hanya tersenyum, “tentu saja aku akan
datang karena aku masih berhutang budi padanya.”
Mereka pun memasuki mobil mewah dan perlahan
meninggalkan rumah kami.
“kau lihat? Dia anak orang kaya. Tentu saja.
Aston Martin One-77 silver itu saja sudah menunjukkan bahwa dia benar-benar
anak orang berada..” gerutu Bai Xian, “plat nomor depannya 426. Sebuah angka
yang sangat jarang ditemukan di Cina. Lain kali aku akan mengecek ke kantor
polisi masalah kepemilikan plat.” Gumamnya.
Canlie yang prihatin melihat Bai Xian
langsung mendekatinya dan menepuk bahunya pelan, “sepertinya ada kecemburuan
sosial antara adik dengan kakaknya yang tiba-tiba bisa berkenalan dengan lelaki
kaya ganteng, sudahlah, kulihat dia orang baik-baik. Setidaknya dia tak berniat
mencelakakan kita ataupun kakak Mei. Apa kau tega membiarkannya menjadi perawan
tua?”
Aku yang jadi bahan gunjingan langsung
melotot ke arah mereka berdua dan memutuskan untuk masuk ke dalam rumah.
*
1 Mei~
“kak.. aku dan Baekhyun
eh... Bai Xian pergi dulu ya..” Canlie meminta izin kepadaku. Aku hanya
tersenyum begitu ia menyebut nama Bai Xian, biasanya ia memanggil nama Bai Xian
dalam bahasa Korea.
“mau kemana?” aku masih sibuk mencuci pakaian.
“main laa~”
“ahh ya, jangan pulang larut malam..” pesanku padanya.
“ahh.. kami ingin menginap di rumah teman” terangnya.
“heh? Menginap? Apa temanmu tidak keberatan?” aku menatap Canlie
heran.
“ahh aku rasa tidak. Kami ada sedikit bisnis..” Canlie menaikkan
kedua alisnya beberapa kali.
“ahh ya, setelah itu kau harus pulang...”
“iya kakak cantik..” cupp~ sebuah kecupan ringan mendarat di pipi
kananku.
“aiishhhh!! Dasar!!” gerutuku. Anak ini memang kadang suka
seenaknya saja. Terkadang melupakan umur kami yang hanya berbeda satu tahun.
Terkadang menyenangkan apabila mempunyai dua orang saudara sebaya
yang kelakuannya tak sesuai dengan umurnya. Mereka mencari uang dengan
kemampuan mereka sendiri. Terkadang kalau mereka benar-benar capek bekerja,
mereka tak akan segan-segan menyamar menjadi pengemis dan bersandiwara di
sepanjang gerbong kereta api. Meskipun kemampuan mereka dalam hal akting sudah
tidak diragukan lagi tapi tetap saja mereka tak bisa mengelabui polisi. Lengah
sedikit mereka bisa masuk ke tempat penampungan gelandangan dan pengemis. Untuk
bisa menebus sendiri juga tetap harus membayar denda pada petugas, kalau
dibiarkan dalam penampungan, aku yang tak tega.
Ting...tong...
Aku mendengar suara bel yang di tekan.
“ya...” sahutku yang langsung membasuh kedua tanganku dan berjalan
menuju pintu.
Ahh.... meskipun pintu belum terbuka sepenuhnya aku langsung
terpana melihat sosok laki-laki berjas hitam yang sedang berdiri di depan
pintu, ia tersenyum padaku.
“kau...” aku tak bisa lagi menyelesaikan ucapanku saking gugupnya.
“selamat pagi tuan putri...” suaranya yang khas menggelitik
kupingku hari ini.
Aku tersenyum, bahagia bisa melihat wajahnya sepagian ini, “kau
mau apa?”
“astaga...aku baru datang sudah di todong dengan pertanyaan
begitu, mana sopan santunmu? Membalas sapaanku saja tidak..” omelnya.
“ah ye” aku menghembuskan napasku, “selamat pagi juga tuan muda,
ada yang bisa kubantu?” tanyaku yang langsung bertindak ala maid.
“tidak.. hanya ingin membayar hutangku kemarin. Aku membawakan
ini..” dia memamerkan sebuah bungkusan plastik hitam di tangannya.
“apa itu?” aku mengamati.
“daging dan sayuran, kali ini aku yang akan memasakkan makanan
untukmu..” ujarnya yang langsung nyelonong masuk ke dalam rumahku.
Sementara aku masih bengong melihat kekurang-ajarannya, “ayo
masuk... jangan memasang tampang bodoh begitu..” ia mencibir.
“dasar...” aku merengut tapi tetap saja mengikutinya masuk ke
dalam rumahku.
“kau tunggu di sini, biar aku yang menyiapkan semuanya...” ia
menggeser kursi makanku dan mempersilakanku untuk duduk.
“kau bisa memasak?” tanyaku kagum.
“bisa...” dia berkata dengan congkak. Aku mencibir. Laki-laki
ini....
Aku memperhatikannya dengan seksama, “”kau belajar memasak dari
siapa?” tanyaku penasaran. Meskipun ia tak begitu cekatan tapi ia cukup lihai.
“aku belajar sendiri” sahutnya, “aw....!!” tiba-tiba dia
berteriak, ia menghentikan aktivitasnya dan tangan kanannya memegangi tangan
kirinya.
“kau kenapa?” aku yang kaget langsung meloncat dari tempat dudukku
dan bergegas menghampirinya.
Ia meringis, “kau terluka? Tuhkan.. dapur memang tak bersahabat
denganmu.. sini aku obati..” aku langsung bergegas mengambil kotak obat tapi
aksiku langsung dihentikannya.
Wufan menahan tubuhku. Memutar bahuku pelan, “aku tak terluka”
katanya yang langsung menangkupkan kedua pipiku dengan tangannya.
Jantungku rasanya mau jatuh, entah kenapa aku selalu terdiam, tak
berkutik apalagi menolak dengan semua perlakuannya padahal baru kali ini ada
seseorang yang berani menyentuhku.
Tanganku yang bebas terangkat dan menyentuh jari-jarinya yang
masih menempel di pipiku. Ia menempelkan keningnya di keningku, menggesekkan
hidungnya di hidungku perlahan, kemudian terkekeh pelan..
“karena kau sudah berhasil kukerjai jadi kau yang harus memasak..”
perintahnya seenaknya.
“sialan...” aku merutukinya tapi akhirnya tetap menuruti
permintaannya. Sambil melanjutkan pekerjaannya yang sempat terhenti aku
mengusirnya, “kau tunggu di luar saja”
“kenapa? Kau takut tak bisa berkonsentrasi?” ledeknya.
“menurutmu?” balasku galak.
“hahahha... aku keluar.....” ia membuat tanda menyerah dengan
melambaikan tangannya sebelum akhirnya melangkah pergi ke luar.
Tok tok
tok....
Aku mendengar suara pintu di ketuk.
“biar aku yang membukakan..” teriak Wufan yang langsung melesat ke
pintu depan. Aku menghentikan aktivitas memasakku dan mengikutinya dari
belakang.
“Yixing..” sapaku begitu pintu terbuka. Wufan berdiam diri di
depanku. Sepertinya ia mengira aku akan tetap mengikutinya sekalipun ia
melarangku.
“Mei....” balasnya. Sweater tebal, sarung tangan dan masker
penutup tak membuatku ragu untuk menyapanya. Yixing memang sangat sensitif
dengan udara dingin sehingga memang tak bisa dipungkiri kalau ia mengoleksi
banyak sweater dan pakaian tebal lainnya.
“Mei... aku ingin berbicara padamu..” pintanya padaku. Sekilas ia
melirik sosok yang jauh lebih tinggi darinya. Memintaku untuk bisa mengusirnya
sebentar.
“mari kita bicara di luar...” saranku yang langsung menarik tangan
Yixing ke luar.
“yaaa!! Mei... aku merindukanmuu...” Yixing langsung memelukku
ketika kami sedang berdua.
“aku juga..” balasku memeluknya sambil menepuk-nepuk bahunya.
“kenapa kau tak masuk kerja?”
“belakangan ini aku sedang tak enak badan.” Dustaku.
“ah ye... engg.. Mei... kau menjalin hubungan dengan dia?”
sepertinya ada nada berat yang akhirnya diucapkan oleh Yixing.
“ahh ya, kau mengenalnya?”
tanyaku hati-hati.
“tidak juga, tapi aku tahu siapa dia, Mei.. lebih baik kau tidak
usah menjalin hubungan dengannya, dia itu lelaki mata keranjang, bajingan yang
suka bermain wanita di kasino. Dia juga anggota....gank...”
Aku menghela napas pelan, “jadi kau kesini hanya untuk
memperingatkanku?”
Yixing menggeleng pelan, “aku tak tahu kau menjalin hubungan
dengannya.. dengar Mei.. aku harap kau bisa mengerti ucapanku. Ada seseorang
yang jauh lebih baik dari dia..” Yixing menatapku. Aku merasakan kekhawatiran
di manik matanya.
Aku tersenyum samar, “kau benar-benar tak bisa membuka sedikit
saja hatimu untukku?”
“a...aku... minta maaf..” ucapku pelan.
Dia mengangguk. Lebih tepatnya dia berusaha menerima ucapan
penolakanku yang mungkin sudah ratusan kali kuucapkan. Yixing memang tak pernah
berbuat salah terhadapku atau menyakitiku, hanya saja aku yang tak pernah bisa
menganggapnya lebih, sekalipun aku memaksa menyukainya, itu takkan berlangsung
baik.
Aku sudah pernah memperjuangkan hatiku, membuka hatiku perlahan
untuk bisa menerima Yixing di hatiku tapi tak pernah berhasil. Malah pertemuan
pertamaku dengan Wufan semakin menjauhkan perasaanku dengan Yixing.
Wufan yang membuat hatiku perdebar dan membuat jantungku
berantakan hanya karena satu perhatiannya di malam itu, aku tahu aku memilih
orang yang salah. Tapi aku mencintainya...
“aku pergi dulu...” Yixing akhirnya menyerah padaku, “kau jaga
dirimu baik-baik...”
Aku hanya mengangguk pelan, pandangan mataku mengekori punggungnya
hingga akhirnya ia menghilang di ujung jalan.
____
Di depan pintu rumahku, aku melihat Wufan yang bersandar di sana
dengan kedua tangan yang terlipat di depan dadanya.
“apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku heran.
“menunggumu untuk mengusirku....” sahutnya, dia menyeringai.
“maksudmu?” kepalaku tadi sudah berputar-putar karena menolak
pernyataan dari Yixing dan sekarang ia semakin menambah beban pikiranku.
“apa kau tidak takut berhadapan dengan seorang pembunuh? Anggota
gank? Lelaki liar, hidung belang dan bajingan sepertiku?”
“hei...kau mengupingku ya?” aku yang menyadari arah pembicaraan
ini langsung menghardiknya.
“menurutmu?” tanyanya lagi, “sudahlah, lagi pula aku sudah tak
ingin menyembunyikan hal ini padamu. Semua yang dikatakan teman lelakimu itu
benar. Aku mengaku...” dia menatap tajam ke arahku, menunggu ekspresiku berubah
saat ia mengakui statusnya yang sebenarnya.
Untuk sesaat aku hanya diam membisu. Aku tak bisa menggunakan akal
sehatku dengan baik. Apakah aku harus menjauhi Wufan? Mundur teratur dan
perlahan menghilang dari dunianya? Jika aku terus bersama dengannya lantas
bagaimana dengan keselamatan keluargaku.. eng... maksudku keselamatan Xiao Xian
dan Xiao Can yang telah kuanggap sebagai sahabat sekaligus kerabat terdekatku.
Tapi... aku tak menemukan sesuatu yang janggal dari sikapnya selama ini,
seandainya dia memang ingin melukaiku dan keluargaku, apa yang harus
didendamkan dari kami? Kami hanya tiga anak sebatang kara yang mencoba
peruntungan dengan meninggalkan panti dan mencoba hidup bersama...
Entah untuk saat ini aku memang benar-benar tak bisa berpikir
dengan benar. Hati dan pikiranku menginginkan Wufan. Untuk pertama kalinya
dalam hidupku aku mengalami getaran seperti ini. Sesuatu yang membuatku sesak
napas dan tak bisa tidur.
“lalu... untuk apa kau hadir di hidupku? Apa salahku? Apa
jangan-jangan kau menaruh dendam dengan kedua adikku?” suaraku rasanya langsung
hilang, napasku tercekat.
“aku tak bermaksud mengganggumu Mei... aku juga tak tahu kenapa
tapi... kau memang terlalu menarik untukku..” ia mengucapkannya dengan nada
penyesalan.
“dasar lelaki mata keranjang! Tukang gombal! Kau memang
benar-benar pembawa sial!” cercaku.
“tapi kau tetap saja menerimaku..” oloknya.
Aku langsung tersipu malu, darahku rasanya menyembur ke seluruh
urat-urat mukaku.
“mulai sekarang kau berhenti bekerja di bar itu dan pindah
rumah..” perintahnya.
“lantas aku harus makan apa?” protesku.
“mulai sekarang aku yang akan menanggung biaya hidupmu..” ujar
Wufan datar.
“hah? Kau pikir aku gadis matre seperti gadis-gadismu di kasino
itu?” mataku membelalak mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya.
“anggap saja aku menebus semua kesialan yang telah kau terima
sejak kau mengenalku,..”
Aku terkekeh, “sudah berapa ratus wanita yang kau janjikan seperti
itu? Hah?”
“dasar bodoh! Bisakah kau menyisakan sedikit pikiran positifmu
untukku? Kau gadis pertama yang aku tawari. Biasanya aku langsung mencampakkan
mereka sehabis kami selesai melakukannya.” Kali ini nada bicaranya sedikit
meninggi.
Aku tersenyum sinis, “tak bisakah kau sedikit saja menghargai
seorang wanita?”
“aku menghargai. Mereka saja yang ‘mengundangku’. Lelaki mana yang
tak tertarik dengan undangan menggiurkan seperti itu? Lelaki normal manapun
pasti bernafsu, kalau ia tak tertarik dengan wanita itu berarti ia tak normal.”
“brengsek!!” umpatku, “laki-laki kalau tak bajingan yaa
keparat...” aku mendorong tubuhnya pelan dan masuk ke dalam rumah.
6 Mei..
“happy birthday to you and you” Canlie bersenandung riang menyanyikan lagu
selamat ulang tahun untukku dan Xiao Bai.
“hahaha xiexie” aku dan Bai Xian meniup deretan lilin-lilin kecil di atas
sebuah cake berukuran sedang.
“ulang tahun kalian tidak spesial karena dirayakan bersama, akulah yang
spesial, hahaha” Canlie terbahak sambil memperlihatkan deretan giginya.
“menurutmu begitu? Ayo kita buktikan” aku mencolek krim kue dan menoleskan
di atas hidung Canlie.
“yaakk!! Chanyeol-ahh~ kau yang akan mendapat kesialan hari ini” Bai Xian
langsung mengoleskan krim kue ke tangannya dan mulai menyerang Canlie.
“hei-hei kalian!! ><” Xiao Can langsung melompat dari tempat
duduknya.
Tin...tin... aku
mendengar bunyi klakson mobil yang langsung menghentikan aksi kami.
“ahh..pasti si ketua mafia” omel Xiao Bai, “siapa lagi
tamu yang sering mampir ke sini kalau bukan dia”
“kenapa kau bersikap sangat sensitif dengan kedatangan lelaki kaya itu?
Sedang PMS kah?” goda Canlie yang langsung disambut oleh sebuah kain lap
terbang dari Bai Xian.
“tutup mulutmu, sialan” gerutunya.
Aku hanya terkekeh melihat tingkah mereka dan memutuskan keluar.
“kak Mei, kau benar-benar akan meninggalkan kami dan pergi bersama lelaki
itu?” tanya Bai Xian.
“hmm” aku mengangguk, “hari ini dia mengajakku memberikan sembako di tempat
penampungan anak gelandangan dan pengemis”
“oh...kegiatan sosial” desis Bai Xian.
Aku tersenyum samar dan langsung pergi keluar.
“masuk” hanya itu yang kudengar dari balik sebuah kaca sebuah mobil mewah
yang diturunkan sedikit, aku mengangguk pelan sambil memasuki mobil.
“jadi kita akan mulai dari panti yang mana??” tanyaku pada seseorang
berjaket kulit cokelat.
“ke taman rekreasi” dia tersenyum samar.
“yakk!! Bukankah kau sudah berjanji untuk mem...” omonganku langsung saja
dipotong.
“masalah janji, aku takkan pernah mengingkari, yang jelas sembako sudah
dibagikan oleh Jongdae dari tadi pagi, daaaan aku sudah menyiapkan dua tiket
nonton konser gratis music jazz untuk Xiao Bai dan Xiao Can” Wufan menyetir
dengan fokus tanpa sedikitpun menoleh ke arahku.
Aku melirik sadis, “dasar licik” gerutuku.
Akhirnya setelah aku bermain seharian di taman rekreasi dengannya, dia
mengajakku pulang sebelum akhirnya dia membelokkan mobilnya ke arah sebuah
pantai untuk melihat matahari terbenam.
“haaaaah, hari ini aku merasa menjadi manusia” dia mengatakan sambil
bersandar di dalam jok mobilnya menikmati senja yang kini kian memudar
mendekati malam.
“maksudmu?” tanyaku bingung.
“selama ini aku pikir aku tak bisa sebebas ini, yah menjadi layaknya
seorang manusia normal” dia menghirup udara dan menghembuskannya perlahan, “aku
rasa selama ini aku hanya bisa menjadi seorang lelaki yang disegani”
Wufan memiringkan tubuhnya sedikit, “Mei Li....”
“ya?” sahutku.
“kau cantik” pujinya.
“aku tahu” sahutku pelan.
“kau tak ingin mengatakan aku tampan?”
“aku sudah terlalu bosan mengatakan hal itu dalam pikiran dan hatiku jadi
kupikir tak usah diperjelas lagi” aku memutar bola mataku.
Dia terkekeh, “Mei Li, apa kau tak takut berdekatan dengan penjahat
sepertiku? Apa yang dikatakan temanmu benar, aku bukanlah pria baik-baik”
jelasnya.
“kalau semua orang takut akan suatu ketakutan yang sama, mungkin tidak ada
teroris yang beristri” lagi-lagi aku memutar bolamataku.
“tapi aku bukan teroris” sahutnya lagi. dibelainya ujung rambutku yang
berwarna kecoklatan diterpa cahaya matahari.
Wufan menatapku lekat sampai akhirnya ia mencondongkan tubuhnya, ia
mengecup pelan keningku, “aku rasa aku tak salah menemukanmu waktu itu”
gumamnya, entah siapa yang memulai sampai akhirnya bibir kami saling menyentuh,
aku merasakan aroma tembakau yang khas dari aroma napasnya. Aku menutup mataku
pelan merasakan bibirnya yang bergerak pelan memagut bibirku dan lidah kami
saling membelai, seakan mengeksplorasi atas jutaan perasaan bahagia yang
kurasakan selama ini. aku tak pandai dalam urusan berciuman, saat bibirnya
menyapu pelan bibirku, jantungku semakin berdetak kencang dan napasku memburu,
damn! He is a good kisser.
Perlahan aku merasakan tangannya yang memegang lenganku kini mulai turun
dan membelai pahaku, sial! Apa yang akan dia lakukan?? belum sempat mulutku
menganga, kami dikejutkan oleh sebuah ledakan di kaca mobil.
Wufan menghentikan kegiatannya dan langsung mengecek kaca mobilnya yang
tergores oleh sebuah benda, peluru?
Mata Wufan berkilat menahan amarah, “brengsek, tak bisakah mereka sabar
sedikit denganku??” ia memutar mobilnya melaju sementara aku bergidik ngeri
melihat seseorang yang berusaha mengejar kami.
----TBC---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar