KNOW ME FIRST, KISS ME LATER(PART
I)
Author: Mei F.D
Cast :
·
Wu Yi Fan/ Kris EXO M as Kristanius A. S.
·
Mello as Priscilla N. Melody
·
Miranda Kerr (umurnya 26th ya di sini n__n)
·
Lee HyukJae as Jae
·
Do Kyungsoo as D.O
·
Oh Sehun as Odult
·
Yoon Bora as Bora
Length : multichapter
Genre : romance, drama, antara
kocak dan ngenes ckck
PG : 15++
Dibaca dulu siapa tau suka, kalau
gak suka baru tekan tombol back^^. Klo ff ini dijamin udah tamat hehehe. Jgn
lupa follow @meiokris :*
**
Mello’s POV
“gak bosen apa minum itu terus?”
Bora memperhatikan kerakusanku yang masih saja sibuk menyeruput Cappucino float
di hadapanku, oke ini adalah Cappucino kedua hahaha.
“hmm.. belum kok, belum sampai
sakit perut” jawabku yang masih terus menatap rakus ke arah minuman favoritku
ini, ah rasanya dunia terasa sangat hampa kalau tidak ada yang namanya
Cappucino float, sayangnya kalau di mall seperti ini harganya selangit, 30ribu..
30ribuu astaga bahkan uang jajanku sehari saja tidak bisa membayar satu gelas
minuman di sini ckck. Mumpung si Bora lagi kesambet malaikat, bukan malaikat
pencabut nyawa ya, malaikat yang baik hati pokoknya mauuu aja dia bebasin aku
minum gratis di sini.
“ckck dasar, jadi kamu mau
tinggal di rumahku cuma untuk mencari pekerjaan?” Bora kembali fokus dengan
pembicaraan awal kami.
“hmmm...” aku meneguk Cappucino
terakhir dan menandaskannya hingga tetes terakhir, “iya, kerja apa aja deh
asalkan halal dan gak mengganggu hak asasi aku sebagai manusia Ra”
“ihh, Cil... err Mello.. ah
lebay banget lagi pake ganti nama pas ke sini, emang mau jadi artis pake ganti
nama jadi Mello? Hell-o?!”
“ya bukan gitu kan disini kalo
yang namanya Cilla maunya jadi dokter, Cilla mau cembuhin teman-teman Cilla
yang cakit, bial bisa belmain belcama lagi.. lah aku mana punya duit jadi
dokter, Boraaa” aku mendadak melow dan jadi korban iklan.
“terus maunya jadi apa?”
“ya jadi pembantu kek, tukang
cuci piring, bersih-bersih rumah, kamar, pelayan, pembuka jasa move on juga
boleh hehehe” aku mendadak ngelantur, bilang aja jomblo pake alasan pembuka
jasa move on, modus...
“aduuhh.. ngelantur mulu ya kalo
ngomong sama kamu” Bora mendadak frustasi, “kenapa gak minta cariin pekerjaan
sama si Beki?”
“hah, aku udah putus sama dia”
jawabku enteng.
“lah, memangnya kenapa?
Seingatku sewaktu kamu kehilangan pacarmu si Alex itu kamu mesra banget sama si
Beki yang unyu munyu itu?”
“dia.. di jodohin sama mamahnya,
nikah sama cewek tau deh namanya siapa, lupa.” Jawabku sekenanya.
“gak nyoba nyari yang lain?”
“hmmm.. ada sih, setahun yang
lalu kok ketemunya, ganteng, terus... mesum” aku jadi membayangkan hal yang
iyaiya kalau ingat someone in somewhere yang bahkan aku gak tau namanya.
“gak usah mupeng gitu deh Mell,
emang ketemu dimana?” tanya Bora antusias.
“hmm.. ketemu di taman sih, dia
lagi ciuman sama ceweknya..”
Jduaaak!! Akibat kelakuan Bora
yang rada lebay ini akhirnya ia meringis kesakitan gara-gara kakinya kesandung
kaki meja, ceritanya mau aksi lebay kali, tapi gagal.
“gila ya! Masa naksir sama orang
yang udah punya pacar??!” Bora membelalakkan mata tak percaya, aku yakin kalau
saja kali ini dia berada 5cm di depanku mungkin aku sudah kena hujan lokal.
“ya namanya juga juga, cinta
pada pandangan pertama, emang itu harus ketemu pada setiap makhluk single apa?
Bisa jadi kan sama yang sudah mempunyai pacar... atau bahkan berkeluarga..
hahaa” kataku sarkastis.
Bora menggelengkan kepalanya,
tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah kertas yang tertempel di dinding, aku
mengikutinya.
“lamaran pekerjaan jadi pelayan
di dapur restoran ini” kata Bora usai mencopot selebaran itu di dinding dan
memberikannya padaku.
Aku membaca sekilas dan langsung
membawanya ke salah satu kasir terdekat, nggg gak terdekat juga sih, penjaga
kasirnya eung, imut hehe.
“mas.. mas.. saya mau melamar
pekerjaan di sini” kataku tanpa memedulikan tatapan pengunjung.
“hah??” penjaga kasir yang
sepertinya tipe-tipe pasif atau gimana lah hanya bisa menatap bingung aku
dengan kedua matanya yang besar yang bulat. Aih, imut bangedd pake d.
Lama dia mencerna perkataanku
akhirnya dia mengangguk, “oh, haha” dia menggaruk belakang kepalanya, “mari
saya antar bertemu tuan muda, kebetulan pemiliknya sedang berkunjung” kata lelaki
itu tanpa henti-hentinya menyunggingkan senyumnya, mungkin salah tingkah.
“terimakasih ya.....” aku
tertegun sejenak, omegos, aku gak tau namanya.
“D.O panggil aja DO” dia
mengantarkanku menemui pemilik restoran mahal ini, yah gak papa deh kalau misalnya
gajinya sedikit, aku rela toh ada Cappucino floatnya di sini. Siapa tau saking
mahalnya nih Cappucino banyak yang kebuang, aku rela kok bungkusin tiap hari
biar bisa minum Cappucino tiap hari.
Akhirnya sampai juga pada
pemilik restoran ini, dia yang tubuhnya jauh melebihi tinggi DO sedang
membelakangi kami menatap ke sebuah jendela yang menyuguhkan pemandangan taman
mall yang tertata dengan cantiknya, ngomong-ngomong soal tinggi ya pasti aku
jauh banget lah dari dia, apalagi aku yang cuma 168cm ini pasti bakal keliatan
mungil.
DO pun memanggil dengan nada
suara yang dibuat sesopan mungkin, “Tuan Kris” hingga membuat orang yang
bernama Kris itu menoleh.
HUWAAAA!! Ya Tuhan, ini ini gak
mimpi kan? Aku terdiam sejenak menatapnya, mata hazelnya mengingatkanku dengan
seseorang, hidungnya yang mancung, alis matanya yang tebal, bibirnya yang seksi
haduuuhh, aku menelan ludah beberapa kali, belum lagi dia memakai kemeja putih
dan black suit yang terpasang dengan gagahnya. Tunggu dulu, dia.. dia.. dia itu
seseorang aku suka dari setahun yang lalu kan? Cinta pada pandangan pertamaku
yang jatuh cinta saat dia lagi ciuman sama ceweknya. Selama ini aku pikir aku
kagum dengan caranya mencium gadisnya dengan cara yang lembut, tapi sekarang.
Aku positif terserang infeksi jatuh cinta kronis pada pandangan kedua.
**
Kris’s POV
“Kristanius Alva Stevano dengarkan ayahmu
bicara!!” bentak lelaki paruh baya itu padaku. Kerutan-kerutan di wajahnya yang
renta itu semakin terlihat jelas ketika beliau marah, “papa tegaskan sekali
kamu sekali lagi berhenti melakukan perbuatan yang bisa mencemarkan nama baik
keluarga.”
Aku bisa melihat dengan jelas dadanya
bergerak naik turun menahan emosi, aku masih tetap tak beranjak dari kursi
kebesaranku, “C’mon dad itu Cuma selembar foto masalalu. Foto ciuman yang
diambil tahun lalu. Sudah sangat lama. Relasi bisnis tak akan sebodoh itu kan
langsung memutuskan kontrak perusahaan Cuma karena selembar foto ciuman?
Konyol!”
Ini benar-benar berlebihan dan mengungkit hal
ini benar-benar membuat dadaku terasa sesak. Bukan karena mendapat bentakan
dari ayahku tapi lebih ke memori di mana aku berusaha mengubur hal ini
dalam-dalam. Mengingat dengan siapa wanita yang ku ajak berciuman di dalam foto
itu benar-benar mengacaukan pikiranku.
“apa kata orang kalau anak pewaris tunggal
perusahaan terbesar ke 7 di Asia Tenggara memiliki attitude yang tidak baik.
Kita berada di negara yang menjunjung tinggi sopan santun!”
Akhirnya aku tak tahan lagi, “aku sudah
meninggalkan dunia model, hobi dan satu-satunya kebahagiaanku sudah kukubur
dalam-dalam dengan mengikuti desakan papa yang menyuruhku bekerja di sini. Tapi
aku minta papa berhenti mengurusi urusan pribadiku” kataku memberikan penekanan
di akhir kata.
Yah. Sifat keras kepala, pantang menyerah,
jiwa pemimpin dan tak suka di atur dari ayahku sekarang sedang mengalir deras
dalam darahku di setiap aliran urat nadiku.
“mulai sekarang aku akan belajar mandiri dan
kuharap ayah tak mencampuri urusanku sekarang” kataku sebelum keluar dari
ruangan ayahku.
*
Kopi hangat dari salah satu hasil panen kebun
kopi terbaikku terhidang dengan nikmatnya di sini. Mataku menangkap sosok
perempuan yang sedang bekerja di ujung meja. Ia tengah sibuk membersihkan sisa
makanan pengunjung dengan semangat, kadang-kadang ia menghembuskan napas dari
mulutnya sampai pada meja pengunjung yang memesan Cappucino float. Ada bekas
Cappucino float yang tersisa separuh. Ia menatapnya dengan mata berbinar dan
langsung menyedotnya sampai habis. What? Memakan sisa pelanggan? Itu
menjijikan.
Aku mengalihkan pandanganku padanya dan
kembali berkutat dengan iPadku. Membereskan pekerjaan kantorku yang tadi sempat
tertunda karena kedatangan dari ayahku membuat konsentrasiku buyar. Aku
tertegun sebentar. Gadis itu? Siapa namanya? Mello? Ah ya. Aku masih mengingat
dengan jelas saat ia datang melamar pekerjaan langsung padaku.
Ia membeku saat menatapku. Ya jelas aku masih
melihat dengan jelas tatapan mata terpesona yang biasa aku lihat pada gadis
dari kalangan manapun yang baru saja melihatku padanya. Tapi ada tatapan lain
yang menggelitik rasa penasaranku. Seperti tatapan rindu? Dari matanya.. aku
bisa melihat pikirannya jauh menerawang saat melihatku, rasanya seperti melihat
ribuan mil jarak di dalam bola mata hitam jernihnya itu.
“woy bro, melamun aja” sapa JB yang
datang-datang langsung menyentuh kopi–yang aku bahkan belum meminumnya-
milikku.
“sialan” rutukku. Oh ya asal tahu saja,
namanya Jae. Kupanggil JB kalau di tempat umum, bukan Justin Bieber karena
mukanya benar-benar tidak pas dan tidak mirip dengan artis Hollywood itu. JB
artinya Jae B*bi hahaha. Entah kenapa aku lebih senang memanggilnya begitu
padahal mukanya lebih mirip monyet.
“lagi mikirin cewek ya?!” tanyanya to the
point. Sial kali ini tebakannya benar. Aku kan lagi mikirin pelayan itu.
“gak, ngapain?” dustaku sambil buru-buru
menyimpan iPadku. Percuma juga mengerjakan pekerjaan kantorku di sini,
kedatangannya jelas tak membuatku bisa berkonsentrasi mengerjakannya.
“kali-kali aja, tak biasanya kau melamun
seperti tadi, kulihat matamu juga sibuk menatap pelayan baru itu” selidiknya.
“haha konyol” sahutku, “siang ini bantu aku
beres-beres, aku mau pindah rumah” aku menjentikkan tanganku menunggu pelayan
dapur yang datang, kopi hangat harus tersedia lagi di sini. Jatahku kan sudah
diambil ini. Memikirkan gadis itu cukup membuatku haus.
*
Mello’s POV
“kak coba lihat rumah itu.. kapan kita punya
rumah tingkat kaya itu ya?” Odult adikku yang bertubuh besar itu menemaniku di
depan pintu masuk yang tengah sibuk menatap sebuah rumah besar mewah di seberang
rumah kontrakanku.
“ntar ya dek kalo kita kaya
nanti, kalau ayah sukses dagangnya dan kalo aku udah gak kerja jadi pelayan”
mataku sibuk memandangi bagian rumah itu yang benar-benar menarik perhatianku.
Ya!
Balkon yang menghadap ke sebelah timur itu benar-benar mengagumkan, kata Bora
rumah itu gak ada yang ninggalin, Cuma tiap hari para pembantu dan tukang kebun
yang bolak balik buat ngurusin rumah itu. Woah sang pemilik mungkin benar-benar
orang kaya yah masa rumah semewah itu dibiarin gak berpenghuni. Aku dan Odult
tenggelam dalam pikiran kami masing-masing.
Sayang rumah kami hanya memiliki
satu tingkat, ya lantai dasar itu merupakan tempat tidur, makan, mandi dan
segala macam tempat digunakan di lantai bawah itu, padahal aku membayangkan
sebuah rumah bertingkat dua dengan kamar di atas. Jadi setiap aku membuka
jendela untuk yang pertama kalinya ku lihat seluruh pemandangan di pagi hari.
Ketika aku bersantai di sore hari dengan
secangkir teh hangat beraroma melati di
tangan sambil melihat para remaja berusia belasan tahun yang sibuk membentuk
otot di tubuhnya dengan olahraga sore. Tapi...itu semua hanya mimpi..mimpi...
aku menghela napas panjang.
Mataku kembali menatap nanar pada sebuah
kamar di rumah kosong itu, tumben sekali lampunya menyala.
“kak ayo masuk, aku sudah kedinginan” ajak
Odult yang tengah sibuk membuat ekspresi kedinginan dengan mulut yang sengaja
di monyong-monyongkan.
“iya iya ah” aku mengacak rambutnya pelan
sambil menutup pintu rumah kami. “jadi besok kamu pulang ke rumah?” tanyaku.
“iyalah kak masa ngebangke di sini. Odult
sudah gak sabar pengen tanding bola sama teman-teman”
“dasar bocah kampung” ejekku. Ia terkekeh
pelan.
“kak Mello, aku mau ngasih liat idolaku”
Odult memainkan handphonenya dan menyuruhku untuk mengaktifkan bluetooth.
“mau apa? Ngirim foto Cherrybell? Sorry dek
aku gak demen chibi-chibi hahaha” kataku sok tau.
“bukan kak, coba liat dulu” dia menunjukkanku
sebuah foto yang sukses membuat mataku hampir melompat keluar kalau saja bisa
beneran melompat kaya di anime-anime.
“astaga Oduuuuult!! Foto apaan itu??!! Jauhin
dari mataku yang suci ini hiii!! Itu foto siapaa???!!” tanyaku histeris melihat
pemandangan gadis bergaya erotis di layar handphone murahku. Kalau aja aku
cowok mungkin aku sudah menelan ludah berkali-kali.
Adikku yang unyu munyu ini yang bahkan baru
aja berulang tahun ke 19 ini sudah memiliki koleksi foto-foto seperti itu. Ku
kira dia masih demen yang unyu-unyu gitu deh.. taunya..... aku menatapnya
dengan pandangan ngeri.
“jangan diaduin sama ayah ibu ya kak, kan
Odult udah gede bukan bocah ingusan labil lagi” ia mencoba berkilah dari
tatapanku yang siap sedia untuk menerkamnya dengan jarak sedekat ini.
“itu siapa??”
“itu Miranda Kerr kak, model dari Aussie,
aduhai tubuhnya kak, coba kakak seseksi dia mungkin sudah laku dari dulu”
katanya. Aku menelan ludah menahan emosi, hggg. Ini ngejleb tjoy, semenjak
putus sama Beki aku memang gak pernah menggandeng cowok lain, daaan kesannya
aku kayak masih belum move on dari dia.
Kata orang nih ya, umur sekitar 20an itu masa
seorang gadis remaja lagi mekar-mekarnya, lagi berada dalam sisi tercantik
kehidupannya di masa antara bocah-dewasa. Lah aku? Aku merutuki diriku sendiri.
Tak ada yang bisa di banggakan dari seorang Priscilla Nada Melody.
“au ah, sana tidur nanti besok ketinggalan
bus” aku langsung berbalik dan langsung meninggalkannya ke kamar.
“idih gitu aja kok ngambek sih ka” aku berani
bertaruh ia sedang memonyongkan bibirnya.
“kak kalo suka ngambek cepat tua loh ya” yang
ini pasti posenya lagi memperlihatkan matanya yang bulan sabit itu ketika
tertawa sambil memperlihatkan giginya sambil sesekali membasahi bibir bawahnya
dengan lidahnya. Melet maksudnya. Aku tak menyahut.
“ah tau ah kakak, yaudah deh good night ya.”
Nah ini pasti dia lagi garuk-garukin belakang kepalanya sambil berjalan menuju
kamarnya. Brak. Nah benar saja, suara pintu kamar di tutup.
Aku terkekeh geli, segera saja kuraih
handphone murah bututku yang berapa kali soak demo minta di ganti. Kaya pernah
lihat muka cewek ini tapi di mana ya. Aku mengamatinya dengan seksama model
bernama Miranda Kerr ini. sebelah tanganku menutupi bagian tubuhnya yang seksi
hingga hanya bagian kepalanya yang terjangkau penglihatanku. Hffttt. Namanya
juga artis mungkin bolak balik stasiun TV yang membuatnya terasa familiar.
Aku menghembuskan napas berkali-kali. Hape
butut yang tak pernah bernyanyi lagi semenjak aku menyandang status jomblo ini
akhir-akhir ini gak melakukan aksi demo ngehangnya. Ohiya, jelas saja tak ada
orang yang menghubungiku karena aku tak pernah membalas sms mereka, aku tak
pernah mengisi pulsa sebelum kartu sim bututku ini memasuki masa tenggang.
Makluuum. Maklumin aja ya lagi irit duit dan hanya bisa mengandalkan gratisan
kalo operator hapeku lagi baik hati ngasih gratisan bagi jomblowati kere ini.
Aku menatap langit-langit kamarku. Ah iya,
mengenai pemilik cafe tempatku bekerja itu... aduhai siapa sih namanya tadi?
Kris? Kristanius Alva ya? Mr.Armaniku. pangeran berkuda putihku. Mr. Limited
editionku yang luar biasa tampan dengan wajah kaya model iklan pakaian pria
yang ganteng-ganteng itu loh.
Aku bahkan bisa membayangkan lekuk tubuhnya
dari jas yang ia kenakan. Apalagi kalau ia memakai kemeja putih dengan lengan
kemeja di gulung sampai siku.. aku bahkan beberapa kali mengusap bagian bawah
hidungku takut-takut kalau mimisan hehe. Gimana cara kenalan sama dia ya? Harus
cari cara. Aku membatin. Tapi dia cuek bingit. Jarang senyum ckck.
Apa emang setiap para eksekutif muda itu
selalu bertingkah sok cool gitu ya? Karena ia publik figur bagi para singlewati
di kantornya?mungkin itu yang bikin dia digilai para wanita. Mungkin sekarang
para wanita bosan dengan cowok yang perhatian sampai jatuh cinta sama cowok
macam dia. Cowok perhatian itu terlalu mainstream...
*
Kris’s POV
“Woy Odult buruan deh ini udah telat tau aku
mau masuk kerja!!” hoamm... buru-buru aku membuka mataku. Teriakan dari gadis
di seberang rumahku benar-benar sukses menghancurkan tidur nyenyakku, suara
yang memekakkan telinga benar-benar menggangguku! Great! Aku mencoba mengintip
dari balik jendela kamarku.
“Mello?” desisku. Astaga gadis
heboh ini bisa-bisanya muncul di depan rumahku. Mau apa dia? Aku mengedikkan
bahuku. Pagi yang menyenangkan harusnya dan sialnya aku baru menyadari kalau
aku memiliki tetangga yang benar-benar mengganggu jadwal istirahatku.
Kulirik jam sudah menunjuk ke
angka 6, ah.. aku lupa kalau Bi Ina sibuk mengurusi anaknya yang baru saja
lahiran dan baru bisa kesini siang hari. Aku menggerutu kesal dan bergegas
meraih handuk yang tersampir di dekat tempat tidurku. Mau tak mau aku harus ke
kantor hari ini ada atau tak ada sarapan pagi.
Usai mandi aku bergegas meraih
roti hambar beserta sehelai keju dan menyumpalkannya di mulutku sendiri sambil
bergegas menyalakan mobil. Rumah yang kuyakini rumah Mello itu kini tampak
sepi.
*
“engg.. pak, saya ganggu gak?”
dengan lancangnya si Mello meraih kursi di seberangku dan mendudukinya. Matanya
menatap nanar ke arah Coollata Cappucino yang tadi kupesan.
“apa?” tanyaku acuh tak acuh
berusaha mengabaikan tatapannya di minumanku.”harusnya kau menyelesaikan
tugasmu, Mello” sindirku.
“tugas saya sudah selesai pak,
dan tak ada sisa Cappucino untukku” matanya masih menatap minumanku yang
daritadi belum membasahi kerongkonganku. Hilang sudah rasa hausku.
“minum tuh” kataku.
Tanpa babibu dia langsung
mengambil minumanku dan menyedotnya sampai tinggal separo, “nih pak, saya
sisakan buat bapak” ujarnya sambil nyengir kuda.
“ogah” tolakku kasar.
“eh pak, berarti kita tadi sudah
ciuman tidak langsung dong” ia langsung menyentuh permukaan bibir bawahnya
dengan kedua mata yang masih memandangku takjub, aku yakin dia sedang berpikir
yang tidak-tidak dengan bibirku.
“in ur dream! belum ku minum
juga” dih ngarep banget nih cewek, “kau Cuma ingin menghancurkan konsentrasi
kerjaku apa Cuma ingin menghabiskan minumanku?!” mengganggu saja. Baru kali ini
aku punya pelayan selancang dia.
“widih pak galak amat jadi
atasan hehehe. Yaudah pak tadi saya Cuma mau nanya sesuatu. Yaudah gak jadi
pak..” ia langsung menggeser posisi duduknya. Lah kenapa dia yang ngambek sih?
Kurang ajar.
“nanya apa?” tanyaku akhirnya. Baiklah kali
ini aku akan mengalah dengan seorang gadis miskin macam dia.
Ia tersenyum menang, “engg pak, bapak itu
mantan model fashion sama mantan model di majalah bukan?” tanyanya. Bah! Hahaha
ternyata dia salah satu fansku ketika aku masih jadi model toh. Pantas saja dia
membeku gitu ketika bertemu aku waktu itu, mungkin semacam acara jumpa fans.
“iya, kenapa?” tanyaku pura-pura penasaran.
“oh, gak papa pak” dia menggaruk kepalanya,
“berarti selama ini bener tebakanku kalau dia itu model majalah porno”
gumamnya. Well itu bukan gumaman mungkin sebuah pernyataan karena aku bisa
dengan jelas mendengarnya dari tempatku, tapi, tadi dia bilang apa? Majalah
porno? What?
“HAH??!! Apa kau bilang tadi? model majalah
porno?” kali ini giliranku yang penasaran dengannya.
“loh iya kan pak? Tadi bapak bilang iya,
kenapa sekarang malah kaget begini?” tatapnya tak mengerti. Astaga, tadi kan
kau hanya menanyakan apakah aku mantan model apa tidak kan gadis tolol?
“memang mantan model majalah tapi bukan
majalah porno!” kataku sambil menggertakkan gigi bawahku.
*
Mello’s POV
“hadooh
kacau kacau kacaauu, tamat riwayatku” aku memutar-mutar rambutku yang dikuncir
dua itu dengan imutnya.
“hmmm...”
aku menatap seragam pelayanku dan kembali menggaruk-garuk kepalaku,”huwaaaaaa”
oke kali ini aku benar-benar stres. Stres gara-gara sikapku yang suka lancang
ini.
“kenapa
sih Mell?” sapa seseorang yang membuatku menghentikan aksiku. Aku memamerkan
fakesmileku padanya.
“lagi
ada masalah ya Mell? Cerita coba” ajaknya yang langsung menyampirkan kain lap
di bahunya dan membetulkan letak topinya.
“aahhh
DO...” aku menghampirinya dengan ekspresi terjelekku.
“kenapa?”
tanyanya.
“Yo...”
“ada
masalah?”
“Yo,
DO..”
“apa
apa?”
“Yo,
DO, De I O, Dioooooo” kayaknya aku bentar lagi gila.
“apa
Mello??” tanyanya ikutan frustasi padaku.
“kayaknya
umurku kerja di sini bakalan lebih pendek deh” akhirnya aku menjelaskan
ketakutanku. Halah mengingat kata kerja mengingatkanku dengan Pak Kris lagi
Mr.Limited Editionku, dan itu makin mengingatkanku dengan umur kerjaku yang
makin pendek ini, masa nanti aku harus pulang ke kampung gak bawa duit.
Apa
kata orang kampung nanti, Cilla yang di TV pengen jadi dokter dan Cilla Melody
di kampung mereka Cuma kerja jadi pelayan seminggu abis itu dipecat gara-gara
debat sama pemilik cafe. Gak lucu banget kan?! Siapa sih aku lancang banget
punya masalah langsung sama atasan.
Emang
kedengerannya konyol sih kalau sampai aku dipecat gara-gara aku salah ngira dia
model majalah porno, sebenarnya itu sih Cuma akal-akalanku aja biar bisa
ngomong sama dia, ia bisa sih ngomong sama dia tapi taruhannya di nasibku
sekarang, haaah, nasib nasib..
Kutelusuri
wajah DO dengan seksama. Lucu kok, imut lagi. gak malu-maluin di ajak jalan,
malah kataku tampangku yang malu-maluin kalau di ajak jalan. Kayaknya sih dia
tipe-tipe pasif gitu, pasrah selalu di beri dan kecil harapan untuk memberi.
Suaranya juga OK, selain jadi kasir di sini kan tiap malam dia kerja di cafe
jadi penyanyi.
Baru
aja aku ingin menyingkirkan masalahku sendiri dari benakku bayangan Mr.Limitku
kembali hadir dan membuatku bergidik ngeri.
“hoy..hoy
Mello” DO terlihat panik melihatku kembali membeku untuk kesekian kalinya.
“engg..
kayaknya aku lagi gak enak badan deh DO, jadi ngelantur gini kan. Aku bisa ijin
pulang duluan kan?” buru-buru aku menutupi kegugupanku karena malu ketauan
pikiran lagi gak di tempat kerja.
Mana
tadi aku ngelamunin pak Kris, dia juga kenapa gak mampir hari ini? aku udah
ngecek tanggal loh, ini hari jum’at, gak biasanya dia gak mampir ke sini walau
Cuma sekedar ngopi. Takut aja kalau-kalau dia illfeel gitu sama cafenya
gara-gara punya pelayan macam aku. Aku jadi makin frustasi kan sama
pemikiran-pemikiran miringku yang terdengar cukup lebay ini. Pemikiranku atau
otakku sih yang miring?! Ah, sudahlah.. aku migrain...
*
Kris’s POV
“akkhhh..” aku meringis seharian di tempat
tidur. Sial. Bi Ina masih sibuk sama keluarganya dan aku Cuma minum Vodka tanpa
melanjutkannya dengan makan malam dan pagi ini sukses membuatku hangover di
tambah dengan perutku yang melilit.
Sial,
siapa yang biasa ku mintai bantuan pagi ini?
Buru-buru
aku meraih ponselku dan menghubungi asistenku. Yah malah mbak-mbak Veronica
yang menjawab teleponku. Ohiyaa, aku kan sudah menyuruh dia untuk menghandle
semua tugasku dari kemarin. Mungkin dia
lagi rapat dengan klienku yang dari Italy itu.
Jae?
Jangan harap ia bisa membantuku pagi ini.
Arrgghh,
rasanya aku harus keluar rumah nyari makan, tanganku sibuk menggapai kunci
mobil yang tergeletak di atas meja dekat lampu tidur.
Plung..
yes!! Tolol!! Tuh kunci bergeser dari tempatnya semula dan sukses menjatuhkan
diri di antara dinding dan bagian belakang meja yang terbuat dari pohon jati
kualitas super yang sangat sulit untuk di geser ini. sial sial.
Akhirnya
aku memutuskan untuk berjalan keluar masih menggunakan kemeja kantorku berharap
ada tukang bubur yang lewat, aku harus mengisi perutku, dengan apapun itu.
Aku
berjalan pelan karena pusing yang masih mendera dan perut yang nyeri ini sampai
akhirnya ketika di tikungan jalan di dekat rumahku sebuah sepeda motor nyaris
menabrakku itu sukses membuat tubuhku limbung dan terhuyung ke belakang dengan
siku yang menggesek dinding beton.
“sialan”
umpatku pada pengendara motor.
“sorry
bung” kata pengendara motor yang berhenti sejenak di dekatku dan langsung
meninggalkanku.
Maaf?
Maaf takkan mengembalikan sikuku yang tergencet ini, “brengsek” umpatku lagi.
Sekarang bukan hanya kepala dan perutku yang nyeri, sikuku juga!
Tiba-tiba
seseorang dari kejauhan memperhatikanku dan akhirnya datang menghampiriku.
Mello.
“bapak?
Bapak kenapa? Sini saya bantu” dengan cekatan dia memapahku yang sudah sangat
lemah ini, “pak kenapa ke sini? Pake baju semalam ya? Bapak mabuk? Bapak mau
kemana? Ke rumah saya?” aduuhh bisa gak sih dia gak bawel sehari aja, gak ingat
apa aku lagi sakit gini.
“mau
nyari makan” sahutku pendek.
“loh,
rumah bapak dimana? Kenapa nyari makan di sini?” tanyanya bingung tapi terus
saja memegangiku.
Shit,
tanyaan macam apa lagi itu? Bukannya dia tiap hari terus-terusan memandang ke
bagian atas rumahku? Ke kamarku? Ok kalau boleh jujur aku sering menangkap
basah dirinya yang lagi menatap balkon dan jendela kamarku.
“gak
usah basa basi, buruan antar pulang, udah mau pingsan ini” protesku.
Dia
mengernyitkan dahinya, “lah terus saya nganter kemana ini?”
“tuh..”
jawabku malas-malasan sambil menunjuk ke rumahku, udah tau masih aja nanya.
Matanya
membesar dan dapat kulihat dengan jelas mukanya yang merona merah dari kulit
wajahnya yang putih bersih itu. Aku ingin menyindirnya habis-habisan tapi
keadaan sedang tidak memungkinkan begini. Akhirnya aku hanya bisa pasrah membiarkan
Mello yang memapahku menuju ke rumahku.
“bapak
sakit apa? Daritadi meringis terus, maag? Telat makan ya? Apa gara-gara minum
kopi terus?” nahkan mulut bawelnya kembali beraksi sementara ia merapatkan
tubuhnya melewatiku untuk mengambil bantal. Ah, dengan jarak sedekat ini aku
bisa mencium bau tubuhnya yang lembut itu, ahh, ada apa ini? buru-buru aku
memundurkan posisiku dan membuatku semakin tersudut.
“rebahan
dulu pak” dia merebahkanku di atas ranjang.
“nah
istirahat dulu ya pak nanti saya masakin bubur buat bapak, ada bahan makanannya
kan di dalam?” dengan sigap ia menggulung rambutnya ke atas dan memperlihatkan
lehernya dengan jelas.
Aku
mengangguk lemah sementara mataku mengekori kepergian. Damn! Ada apa ini? she’s
totally awesome. Hanya dengan melihatnya menggulung rambutnya ke atas yang
memperlihatkan leher dan anak rambutnya yang berserakan di sisi belakang
lehernya cukup membuat bagian bawah tubuhku berdenyut nyeri. Yeah.
Leher adalah salah satu bagian terseksi dari
tubuh wanita. Apalagi dia selalu mengenakan baju sopan ketika bekerja dan
rambut yang selalu diikat dua bak anak desa itu benar-benar seperti gadis desa
polos yang menggemaskan jadi jarang-jarang kalau dia terlihat seksi seperti ini.
Kalau
dibandingkan juga sebenarnya dia tak ada apa-apanya dengan mantanku– yang aku
tak akan menyebutkan namanya- itu. Badannya benar-benar bagus, yaiyalah model
yang sudah Go Internasional.
Mello
dengan tubuh mungilnya yang bahkan hampir setara dengan ketekku ini Cuma
sedikit lebih tinggi memiliki kulit putih bersih dengan wajah standar tapi
cukup imut dengan pipinya yang tembem itu. Dada? Standar tapi sewaktu ia
membantuku tadi aku bisa merasakan dadanya yang lembut menekan lenganku. Kaki?
Tidak jenjang tapi tak berlemak lah, yah pokoknya semuanya serba standar.
Pelan-pelan kuendus lengan kananku, bau lembut yang menguar dari tubuhnya itu
masih menempel di bajuku. Hmmm.. ini menyenangkan.
“pak,
buburnya sudah jadi” dia datang dan membuyarkan lamunanku yang aneh itu, gimana
gak aneh? Selama ini aku selalu mengalami kesulitan dalam mengingat orang
apalagi wanita. Hahaha, ini gila!
Terlalu
banyak wanita yang datang silih berganti di dekatku dan tak ada yang berhasil
kuingat sepenuhnya. Kalau gak lupa namanya ya lupa wajahnya. Lagipula aku sudah
mengubur rasaku terhadap wanita semenjak aku mengucapkan janji itu. Tapi kenapa
aku malah memperhatikannya?
“pak
umurnya 24th kan?” tanyanya untuk kesekian kalinya.
“hmmm”
aku mengangguk mengiyakan. Sementara ia membantuku duduk di tepian ranjang sambil
membersihkan sikuku dengan alkohol yang di ambilnya di kotak obat.
Aku
membuang muka menjauhi mukanya. Jarak kami yang dekat ini membuatku bisa dengan
jelas melihat kepolosan yang terpancar dari wajahnya. Yah tak ada yang bisa di
sembunyikan dari dirinya mengingat wajahnya yang penuh ekspresi ini dan
sikapnya yang ceplas ceplos + bawel ini.
“oh,
aku 21th pak”
“gak
nanya” sahutku pendek.
“ya
ngasih tau pak sekedar info” jawabnya salah tingkah.
“ngapain
ngasih info? Emang lagi sensus penduduk?!”
Dia
terdiam. Tapi aku bisa melihat dengan jelas sorot kesal yang terpancar di
wajahnya. Haha ini menggelikan. Dia akhirnya beranjak dari posisinya semula
usai membersihkan bagian tubuhku yang luka.
“heh
mau kemana?” aku bertanya ketika kurasa dia benar-benar kesal padaku.
“ya
mau pulang lah pak saya mau mandi, masa mau mandi di sini” jawabnya yang
terdengar ketus di telingaku.
“gak
boleh” cegahku. Aku masih ingin mengamati wajah polosnya itu ketika sedang
marah.
“emangnya
kenapa lagi?” tanyanya gusar.
“suapi
aku” pintaku.
“hah?
Bapak kan udah gede masa masih disuapin?” tanyanya bingung.
“gak
inget apa sikuku luka begini?” aku mengingatkan.
“tapi
kan yang luka siku bukan tangan, emang bapak gak bisa gerak pelan-pelan apa?!”
“males”
jawabku enteng. “suapi atau gajimu kupotong 20%” ancamku.
Mello’s POV
“males” jawabnya seenaknya, “suapi atau
gajimu kupotong 20%” ancamnya. Hiihh kesel tau gak digituin. Apa-apaan sih
maunya tuan muda nyebelin ini. kalau aja gak ada embel-embel gaji dipotong sama
dia ganteng bin menawan dengan kemeja semalam yang semakin membuatnya semakin
seksi aku gak bakalan mau nyuapin dia. Meskipun aku bisa melihat ia tak
mempunyai otot seseram ade rai atau agung hercules tapi ia seksi, dengan
pesonanya sendiri, rawr. Lah, otakku mesum lagi, ish pasti ketularan Odult -_-
“ia
pak” jawabku malas-malasan, “emang bapak gak kasihan apa sama saya kalau sampai
gaji saya dipotong mau makan apa saya nanti, kalau sudah dipotong segitu mana
sanggup saya mencukupi kebutuhan saya nanti..” tatapku dengan nada memelas,
kali aja dia mau ngelepasin aku. Yah sebenernya sih aku mau nyuapin dia, tapi
kalo inget sikap nyebelinnya itu napsu buat nyuapin dia udah menguap entah
kemana.
“penting
gitu?” nahkan sikap nyebelinnya gak pernah ilang-ilang. Ih pengen kusumpal aja
bibir seksinya sama roti biar gak bisa ngomong lagi.
Alasan
ketiga kenapa aku masih bertahan di rumah ini juga karena rumah tingkat dan
balkonnya yang sudah menarik perhatianku sebulan ini. wah jangan-jangan aku
sering ketahuan ngelirik ke arah balkon rumah dan kamar ini. Eh, emang pak Kris
suka mandang ke arah rumahku gitu?! Idih geer banget sih kamu Mell. ah sudahlah
jangan diingetin lagi. aku jadi malu sendiri.
Aku
menyendokkan buburku dan mulai menyuapinya perlahan. Semakin dekat, makin dekat
dan sangat dekat.. suapan pertama berhasil. Astaga aku gemeteran, masalahnya
cowok ganteng berlabel limited edition ini benar-benar menggoda iman.
“gimana
pak? Enak gak buburnya?” tanyaku takut-takut, kalo dia muji aku pasti aku
bakalan seneng banget, kalo bisa sih di rekam dulu momen beginian(?).
“hmm..lumayan..
gak bikin mati kalo di makan”
Hiyaaah
gubrakk!!meskipun mujinya setengah-setengah gitu aku seneng deh daripada dia
muntahin makanannya terus menghina masakanku, mungkin aja dia lagi lapar banget
jadi syaraf-syaraf di lidahnya udah mati rasa, yasudahlah paling gak dia mau
makan, sabar-sabar Mell. Sabaaarrr..
“pak
masih muda udah kerja, udah jadi eksekutif muda ya” pujiku sambil terus
menyuapinya buat ngilangin gugupku, bisa berabe entar kalo dia sadar aku lagi
gugup.
“iyalah
kalo udah tua bukan eksekutif muda lagi namanya”
Iya
aja! Diginiin sama cowok idaman hati itu rasanya nyess... pantas saja banyak
para pegawai yang mundur teratur sama dia, gak tahan sama sifat nyebelinnya! Aku
terjatuh dan tak bisa bangkit lagi,...huwooo ;;---;;
“hmmm
pak, suka nginep di rumah temen bapak ya? Siapa namanya? Bi? Abi?”
“Jae
namanya. Tau darimana?”
“hehe,
saya kan suka lewat depan bapak jadi gak sengaja nguping gitu” akuku malu-malu.
“akrab banget ya pak sama pak Jae?”
Ia
tak menjawab karena aku masih menyuapinya, saking semangatnya sampai buburnya
meleleh di sudut bibirnya. Refleks saja aku menyapukan jempolku ke sudut
bibirnya. Woi kapan lagi bisa nyentuh bibir seksinya itu.
Glek..
aku menelan ludah berkali-kali, “maaf pak bibirnya bikin meleleh” kataku
tiba-tiba setelah menyadari kelancanganku.
“hah?”
“mmm...mak..maksudnya
ada bubur meleleh di bibirnya bapak”
Aduuhh
Mello bego! Bisa-bisanya keceplosan begini, jangan-jangan Mello sekarang
artinya bukan Melody tapi MELlo toLOl. Moga aja dia beneran gak nangkep apa
yang pertama aku omongin, mati sajalah kalau ketahuan lagi terpesona sama wajah
tampannya itu.
Dia
hanya memamerkan smirknya dengan muka judes abadi yang masih bertengger di wajahnya,
“Mell, boleh nanya gak?”
hah?
Si ganteng nyebelin ini mau nanya? Nanyaa apa??!! >.< boleh banget
ganteng! Tanyai aku tanyai aku >.<
“bo..boleh
pak, mau nanya apa?” tanyaku deg-degan.
“kapan
gak bawel lagi? berisik tau gak?!!”
JDEERRR!!!
Tanyaan apa sindiran itu? Ya Tuhan ;~~~~;
***
3 hari kemudian...
“Baby
don’t cry, tonight..” DO bernyanyi tepat di sebelah telinga kananku dan refleks
membuatku mengelus-elus kupingku karena geli.
“apaan
sih DO?” aku mengacak rambutku frustasi. Ini bukan saatnya buat becandaan, ini
masalah serius! Aku terancam di pecat.
“kamu kayaknya stres banget deh” katanya tiba-tiba,
“kerja aja kaya mayat hidup, gak ada gairah sampe temen-temen yang niatnya mau
godain kamu malah ngurungin niat mereka”
“ah
bodo lah sama mereka” jawabku asal, ini benar-benar masalah serius.
“eh harusnya kamu bahagia dong di ajak dinner
bareng sama atasan sendiri, berduaan lagi” DO mencoba menghiburku. Tuhkan,
apaan sih??!! Dinner bareng? Bareng pak Kris itu kaya semacam.........
“iyalah undangan makan malam berdua sama pak
Kris itu semacam undangan pengambilan surat pemutusan hubungan kerja” aku
menatap DO dengan pandangan ngeri.
Malam ini Pak Kris mengundangku makan malam.
Daaan kabar simpang siur yang beredar di antara para pelayan cafe ini kalau aku
ada hubungan spesial dengan beliau? What gimana bisa? Mr. Limitku yang
benar-benar dingin, judes dan nyebelin ini bisa-bisanya digosipin sama aku? Kan
gak elit banget kalau para kalangan atas yang mendengar gosipnya. Seorang putra
pemilik perusahaan Stavano sekaligus pemilik cafe Stavano malah pacaran dengan
seorang pelayan! Ckck dramatis sekali kan?
Aku malah beranggapan kalau beliau ingin
memutuskan hubungan kerja denganku seenggaknya pemikiran burukku ini lebih
rasional daripada ajakan makan malam dinner bersama pak Kris diiringi dengan
nuansa romantis, huhuhu, apa aku mau di mutasi? Di permalukan di kalangan
banyak? Apalagi kata kepala dapur tadi kalau beliau kemaren nanyain riwayat
hidupku.
Tunggu-tunggu..
apa aku mau di lamar sebagai istri? Istri kontrakan? Istri beneran? Huwaaaa
pikiranku jadi makin ngelantur. Apaan sih Mell?!
“pothink dong Mell kan belum tau
kebenarannya” DO berusaha menenangkanku yang jujur saja sampai detik ini
kegelisahanku belum bergeser 1cm pun dari tempatnya.
“pothink apaan?” otakku mendadak konslet.
“positif thinking Melloooo” jelasnya.
Aku terdiam. Pothink-pothink ntar
ujung-ujungnya juga potek. Patah hati. Pothink-pothink mau di lamar, taunya di
lempar.
“di cafe mana tadi?” tanyaku. Percuma juga kan
mikirin yang nggak-nggak, mending cepet-cepet kesana, ketemu dia dan liat apa
yang akan dia lakukan pada seorang Mello.
“di cafe Pink Mell, jam 7 malam, mau
kuantar?” tawarnya. Aduh ini cowok kok baik banget sih? Kenapa coba aku gak
jatuh cinta sama dia aja. Gak bikin ribet terus juga kita kan satu kasta,
sama-sama pelayan jadi impianku sama dia gak terdengar muluk kan?
“boleh, lagian aku gak tau tempatnya dimana,
harus pakai dress?” tanyaku kikuk.
“hmmm gak ada suruhan pake dress sih. Tapi
kalau kau mau kita bisa berangkat sekarang deh buat beli dress di sini” tawar
DO lagi.
Aku buru-buru mengecek isi dompetku. Cuma ada
selembar uang 50ribuan. Bah! mana ada dress seharga 50ribuan di mall semewah
ini???!! Daster noh daster murah, masa aku harus ke sana pake daster?!
Aku mendesah pelan, “gak usah deh. Kalo emang
bener di PHK kan ntar bisa-bisa aku benci sama dress itu”
“apa hubungannya di PHK sama benci dengan
dress?” tanyanya tak mengerti.
“nggg itu loh kan di PHK, terus terus aku gak
kerja lagi, terus mau jalan, liat baju eh ngeliat dress itu kan jadi keinget
sama kejadian PHK itu” halah aku mengarang bebas, bilang aja gak ada duit
Mellooo.
“hmmm” dia mengecek arloji di tangannya.
“udah keburu malam nih, yaudah buruan ganti
baju ntar kita telat gara-gara macet dan pak Kris gak suka nunggu terlalu lama”
ajaknya.
Aku mengangguk dan langsung melepaskan
celemek kebanggaanku sebelum akhirnya aku masuk ke ruang ganti baju.
“hahh... apa hari ini hari terakhir aku pake
kamu di badanku?” aku mengusap baju pelayan bertulisan Stavano cafe ini.
kali-kali emang beneran di pecat aku harap aku masih melihat baju ini.
Dalam perjalanan aku lebih banyak diam, DO
juga tak banyak bicara, mungkin merasa kalau aku lagi punya masalah hati.
“makasih ya DO” kataku yang lagi sibuk lepasin
sabuk pengamanku. Cafe ini jelas lebih besar dari cafe tempatku bekerja di
mall. Kan di mall punya batas wilayah masing-masing jadi ya gak bisa gede-gede
bikin cafe.
“eh tunggu dulu” DO menghentikan gerakanku
yang ingin membuka pintu mobil.
Ia membalikkan badanku dengan tiba-tiba.
Merapikan poniku dengan sebelah tangannya sementara sebelah tangannya yang lain
melepas ikat rambutku dan membiarkan rambut panjang bergelombangku tergerai,
aku menahan napas. Aigoo~ malaikat! terakhir ia menyematkan jepit rambut –yang
entah di dapatkannya di mana— di sisi rambutku, “nah kan begini lebih baik”
gumamnya. Apa? Itu semacam ungkapan kata cantik secara tersirat kan?! Aku
terkekeh dalam hati.
Dia menepuk-nepuk pundakku, “fighting Mell”
Aku tersenyum penuh arti sebelum turun dari
mobilnya, bukan mobilnya sih... mobil pinjaman dari cafe yang bertugas buat
nganterin pesanan dari pengunjung, tapi malam ini free dibooking DO buat
nganterinku. Tuhkan, kurang baik apa coba?
Aku tersenyum kikuk saat melambaikan tanganku
ke arah mobilnya yang perlahan menjauh meninggalkanku.
PERGILAH! INI KAWASAN ELIT! Aku tercekat
membaca peringatan kasat mata yang tertera di depan kaca pintu masuk cafe Pink
ini. mahal. Hanya kata itu yang terlintas di benakku. Yaudah lah ya, pasrah.
Akhirnya aku mulai memasuki kawasan elit itu
sambil mataku dengan liarnya mencari sosok yang familiar di mataku. Nah itu dia
Mr.Limited Editionku sudah sembuh. Sekarang ia dengan gagah dan tentu saja
tampan mengenakan kemeja berwarna magenta dengan dasi yang sengaja di
longgarkan dan kancing di kerah kemeja yang sengaja di biarkan terbuka dan
lengan baju yang sengaja digulung sedikit ke atas membuatnya terasa liar di
mataku, jas hitam kebesarannya sudah teronggok diam di belakang tempat
duduknya.
Rambutnya yang di spike ke atas dan sedikit
berjambul itu di cat warna gelap makin menambah kesan maskulinya. Berantakan
tapi hot. Tanpa sadar aku jadi mengibas-ngibaskan sebelah tanganku di depan
mukaku begitu menyadari tatapan matanya yang ternyata sudah memperhatikanku
semenjak aku memasuki ruang cafe ini.
Damn! Aku merasa di telanjangi bulat-bulat
kalau ia tak menghentikan tatapan mematikannya itu. Aku menghampirinya dengan
ragu-ragu.
“duduk” dia bukan mengajak, nadanya seakan
memerintahku dan tak ada nada keramahan yang berasal dari pemilik berwajah
tampan ini.
“i..iya pak..” kataku gugup. Duh aku merasa
tidak pantas berada di sini dengan bajuku yang bisa dibilang terlalu sederhana.
Aku nggak di tendang dari cafe ini kan Cuma gara-gara pake baju bobrok?
Ia menumpukan kedua tangannya di atas meja,
“mulai besok jam kerjamu ku batasi” katanya tanpa sedikitpun mengalihkan
pandangan matanya yang menusuk itu padaku. Ocidaaak! Aku sudah tertusuk di
bagian hati.
“m..maksud bapak apa?” tanyaku gelagapan.
“Priscilla Nada Melody. Putri dari pasangan
Andrea Heris dan Ria Kumala. Gadis berusia 21th yang sekarang seharusnya sudah
mempersiapkan diri untuk ujian skripsi di sebuah fakultas ternama ternyata
sedang sibuk bekerja di cafe Stavano sebagai pelayan.”
Mataku membelalak. Sejak kapan ia bisa
mengingat dengan detil riwayat hidupku? Yah kalau soal darimana dia mendapatkan
info tentu saja dari kepala dapur, tapi... untuk apa??!! Dan menurut sejarah
yang diceritakan dari pelayan sepantaranku kalau Mr. Limit ku ini benar-benar serba
irit, irit dalam hal menggunakan uang, bukan pelit tapi dia lebih suka
menggunakan segala sesuatu miliknya sampai tak layak lagi, irit bicara dan irit
dalam hal mengingat wajah seseorang yang tak ada hubungannya dengan keluarganya
ataupun relasi bisnisnya.
Yah mungkin otaknya sudah di setting
sedemikian rupa hingga ia bisa mengingat dengan jelas hal-hal kecil yang
menyangkut perusahaan dan bisnis jasa makanannya, dan mungkin kali ini
settingannya lagi kena virus gitu jadi bisa mengingat dengan jelas riwayat
hidupku, hehehe.
“kau, harusnya sedang mempersiapkan diri
untuk membuat skripsi kan?” tanyanya lagi sambil menyipitkan matanya.
“i..iya pak.. la.. lagi cuti pak, gak ada
duit” aku menahan napas.
“aku menawarkan pekerjaan padamu, yaah kalau
kau sih.. ini tidak bersifat memaksa” katanya akhirnya dengan senyum sok
misterius.
“kerja apa pak? Kenapa kerjaku harus di
batasi di cafe?” aku langsung takut, wah jangan-jangan...
“kerja jadi pembantu” Jelasnya.
“di...dimana pak?” tanyaku lagi.
“di luar negeri” jawabnya ketus.
“oh...” jawabku seadanya, jadi pembantu di
luar negeri toh..oh luar negeri.. oohhh... luar...negeri?
“HAH??!! Jadi TKW pak?? Lah kalau jadi TKW
saya pasti bakalan lama pulangnya pak, terus bagaimana dengan keluarga dan
kuliah saya pak?” aku meledak seketika.
Gila aja jadi TKW, mungkin kalau sekarang aku
lagi minum bisa saja aku menyemburkan minumanku tepat di wajah Mr.Limited
Editionku ini. Pantas saja tak ada makanan atau minuman terhidang di sini,
mungkin untuk menghindari hal-hal yang tidak diingankan seperti khayalanku
ini.. mungkin...
“makanya kalau orang ngomong itu di cerna”
bentaknya.
Duh..duh.. keceplosan lagi kan.. di bentak
lagi deh, rasanya umurku makin pendek deh dari hari ke hari, ngedenger dia
ngomong tiap hari itu tuh kaya deket sama penyakit yang merongrong hatiku terus
terusan, sakit apa? Hati? Liver? Hepatitis C? Hepatitis Cinta..
Aku masih tertegun mencerna ucapannya tadi
dari awal sampai akhir, oh iya yah kalau aku jadi TKW pak Kris gak mungkin
ngebatasin jam kerja aku di cafe, hehehe
Mungkin kalau aku beneran jadi TKW aku udah
lama di tendang dari cafenya dan terdampar di bagasi pesawat ckck.
“oh iya, jadi yang bener di mana pak?”
tanyaku lagi.
“di rumahku lah” jawabnya yang kali ini bukan
kebohongan lagi yang kudengar.
“HAH??!!” mau gak mau kata ini keluar lagi.
hah huh hah huh apaan sih. Bisa-bisanya aku lancang begini, kalau-kalau aja pak
Kris gak berada jauh di seberangku mungkin dia udah pingsan kali ya mencium bau
mulutku. Diam-diam aku menghembuskan napasku melalui mulut dan mencoba
menangkap bau-bau tak sedap yang keluar dari mulutku. Aku lupa terakhir kali
aku sikat gigi kapan ya?
“lebay” sindirnya sambil bersandar di kursi.
Juna’s style detected! Chef Juna yang ganteng kaya di TV itu, “tinggal bilang
iya atau gak sama sekali” dia memberi pilihan. Duuhh.
“mau pak mau” jawabku cepat, Bebas... Mello
terjun bebas.. “jadi kapan saya bisa kerja? Nngg.. gajinya berapa?”
Mpus, bodo lah dikatain mata duitan, duit
emang segala-galanya sekarang bagi hidupku, tapi sumpah ya aku tuh suka sama
Pak Kris itu gak mandang duitnya.
Kris’s POV
Bah
butuh duit rupanya nih anak. Batinku, “mulai besok, tiap pagi kau tiap hari
siapin makanan sebelum aku berangkat kerja, malamnya juga begitu, jangan
khawatir soal makan siang karena aku biasa makan di kantor, apalagi soal gaji,
yang jelas lebih dari cukup untuk sekedar bayar kuliah apalagi makan
sehari-hari” jelasku panjang lebar.
“dih
siapa yang ngehawatirin dia soal makan siang” gumamnya pelan. How how aku bisa
mendengarnya Mellowati..
“gimana
Mell? Deal?” tanyaku lagi memastikan.
“deal
pak” katanya sambil tersenyum senang.
“ohiya
selama kau bekerja di rumahku kau boleh memanggilku Kris atau Alva, gege juga
boleh, whatever you want lah. Buatlah suasana senormal mungkin karena aku gak
mau ada urusan atau hal-hal yang berbau kantoran berada di rumahku” jelasku.
Ia
hanya menangguk-angguk tanda mengerti sampai steak daging lada hitam yang
kupesan datang. Wiski Maccalan seharga 10jutaan pesananku dan segelas es jeruk
untuknya.
Ia
terlihat canggung mengiris potongan steaknya sampai-sampai beberapa kali suara
pisau dan garpu yang ia pegang menimbulkan bunyi dentingan saat bersentuhan
dengan piring steak dan cukup membuat orang di sekitar cafe menatap ke arahnya.
Ndeso...
“payah”
ujarku yang tak tahan melihat kekonyolannya dan langsung merebut potongan steak
dan mengiriskan untuknya. Apa kami
terlihat seperti pasangan romantis? Cih.
Mello
hanya terdiam sambil sesekali mengerucutkan bibirnya. Diam-diam aku melihatnya
dari sudut mataku. Lucu juga, apalagi pipi tembemnya itu, aku bahkan begitu
bernapsu untuk sekedar mendaratkan kecupan ringan di pipinya itu. Hahaha gadis
ini benar-benar bodoh.
“nih.”
Aku menjaga kadar gengsi dan harga diriku dengan tak bersikap ramah di
depannya.
99%
wanita yang duduk dekat denganku pasti terkena heart attack karena jatuh cinta
pada wajah tampanku dan ketika aku bersikap sedikit manis pada mereka.
Dulu,
jauh sebelum aku menutup hati dan perasaanku pada setiap wanita yang
kujumpai....
Jatuh
cinta itu rumit dan sekarang aku lebih memilih dengan keadaan begini, tak
membiarkan orang menyukaiku dan tetap menganggapku sebagai sosok yang dingin
dan tak punya hati. Aku harap gadis ini tak menyalah artikan kebaikanku kali
ini...
***
Gimana
sodara-sodara?? Jelek ya, maaf soalnya aku pemula trs gak pinter bikin cerpen,
maaf kalo settingnya bukan di Korea soalnya susah, mengenai bahasa, aku kurang
pinter gunain bahasa baku jadilah bahasa abal begini-_-)/ komentarnya di tunggu
ya^^
bacanya keingat caramello kiss-o, si ismi juga... bagus kok tapi sayang beb aku gabisa bayangin dikris asli klo karakternya gitu, kris sekarang lumayan bacot /eh?
BalasHapusmalah keingat ismi masa ;-;