Senin, 08 Juli 2013

FF KRIS : KNOW ME FIRST, KISS ME LATER (PART 1)


KNOW ME FIRST, KISS ME LATER(PART I)

Author:  Mei F.D

Cast :

·         Wu Yi Fan/ Kris EXO M as Kristanius A. S.

·         Mello as Priscilla N. Melody

·         Miranda Kerr (umurnya 26th ya di sini n__n)

·         Lee HyukJae as Jae

·         Do Kyungsoo as D.O

·         Oh Sehun as Odult

·         Yoon Bora as Bora

Length : multichapter

Genre : romance, drama, antara kocak dan ngenes ckck

PG : 15++
Dibaca dulu siapa tau suka, kalau gak suka baru tekan tombol back^^. Klo ff ini dijamin udah tamat hehehe. Jgn lupa follow @meiokris :*
**
Mello’s POV
                “gak bosen apa minum itu terus?” Bora memperhatikan kerakusanku yang masih saja sibuk menyeruput Cappucino float di hadapanku, oke ini adalah Cappucino kedua hahaha.
                “hmm.. belum kok, belum sampai sakit perut” jawabku yang masih terus menatap rakus ke arah minuman favoritku ini, ah rasanya dunia terasa sangat hampa kalau tidak ada yang namanya Cappucino float, sayangnya kalau di mall seperti ini harganya selangit, 30ribu.. 30ribuu astaga bahkan uang jajanku sehari saja tidak bisa membayar satu gelas minuman di sini ckck. Mumpung si Bora lagi kesambet malaikat, bukan malaikat pencabut nyawa ya, malaikat yang baik hati pokoknya mauuu aja dia bebasin aku minum gratis di sini.
                “ckck dasar, jadi kamu mau tinggal di rumahku cuma untuk mencari pekerjaan?” Bora kembali fokus dengan pembicaraan awal kami.
                “hmmm...” aku meneguk Cappucino terakhir dan menandaskannya hingga tetes terakhir, “iya, kerja apa aja deh asalkan halal dan gak mengganggu hak asasi aku sebagai manusia Ra”
                “ihh, Cil... err Mello.. ah lebay banget lagi pake ganti nama pas ke sini, emang mau jadi artis pake ganti nama jadi Mello? Hell-o?!”
                “ya bukan gitu kan disini kalo yang namanya Cilla maunya jadi dokter, Cilla mau cembuhin teman-teman Cilla yang cakit, bial bisa belmain belcama lagi.. lah aku mana punya duit jadi dokter, Boraaa” aku mendadak melow dan jadi korban iklan.
                “terus maunya jadi apa?”
                “ya jadi pembantu kek, tukang cuci piring, bersih-bersih rumah, kamar, pelayan, pembuka jasa move on juga boleh hehehe” aku mendadak ngelantur, bilang aja jomblo pake alasan pembuka jasa move on, modus...
                “aduuhh.. ngelantur mulu ya kalo ngomong sama kamu” Bora mendadak frustasi, “kenapa gak minta cariin pekerjaan sama si Beki?”
                “hah, aku udah putus sama dia” jawabku enteng.
                “lah, memangnya kenapa? Seingatku sewaktu kamu kehilangan pacarmu si Alex itu kamu mesra banget sama si Beki yang unyu munyu itu?”
                “dia.. di jodohin sama mamahnya, nikah sama cewek tau deh namanya siapa, lupa.” Jawabku sekenanya.
                “gak nyoba nyari yang lain?”
                “hmmm.. ada sih, setahun yang lalu kok ketemunya, ganteng, terus... mesum” aku jadi membayangkan hal yang iyaiya kalau ingat someone in somewhere yang bahkan aku gak tau namanya.
                “gak usah mupeng gitu deh Mell, emang ketemu dimana?” tanya Bora antusias.
                “hmm.. ketemu di taman sih, dia lagi ciuman sama ceweknya..”
                Jduaaak!! Akibat kelakuan Bora yang rada lebay ini akhirnya ia meringis kesakitan gara-gara kakinya kesandung kaki meja, ceritanya mau aksi lebay kali, tapi gagal.
                “gila ya! Masa naksir sama orang yang udah punya pacar??!” Bora membelalakkan mata tak percaya, aku yakin kalau saja kali ini dia berada 5cm di depanku mungkin aku sudah kena hujan lokal.
                “ya namanya juga juga, cinta pada pandangan pertama, emang itu harus ketemu pada setiap makhluk single apa? Bisa jadi kan sama yang sudah mempunyai pacar... atau bahkan berkeluarga.. hahaa” kataku sarkastis.
                Bora menggelengkan kepalanya, tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah kertas yang tertempel di dinding, aku mengikutinya.
                “lamaran pekerjaan jadi pelayan di dapur restoran ini” kata Bora usai mencopot selebaran itu di dinding dan memberikannya padaku.
                Aku membaca sekilas dan langsung membawanya ke salah satu kasir terdekat, nggg gak terdekat juga sih, penjaga kasirnya eung, imut hehe.
                “mas.. mas.. saya mau melamar pekerjaan di sini” kataku tanpa memedulikan tatapan pengunjung.
                “hah??” penjaga kasir yang sepertinya tipe-tipe pasif atau gimana lah hanya bisa menatap bingung aku dengan kedua matanya yang besar yang bulat. Aih, imut bangedd pake d.
                Lama dia mencerna perkataanku akhirnya dia mengangguk, “oh, haha” dia menggaruk belakang kepalanya, “mari saya antar bertemu tuan muda, kebetulan pemiliknya sedang berkunjung” kata lelaki itu tanpa henti-hentinya menyunggingkan senyumnya, mungkin salah tingkah.
                “terimakasih ya.....” aku tertegun sejenak, omegos, aku gak tau namanya.
                “D.O panggil aja DO” dia mengantarkanku menemui pemilik restoran mahal ini, yah gak papa deh kalau misalnya gajinya sedikit, aku rela toh ada Cappucino floatnya di sini. Siapa tau saking mahalnya nih Cappucino banyak yang kebuang, aku rela kok bungkusin tiap hari biar bisa minum Cappucino tiap hari.
                Akhirnya sampai juga pada pemilik restoran ini, dia yang tubuhnya jauh melebihi tinggi DO sedang membelakangi kami menatap ke sebuah jendela yang menyuguhkan pemandangan taman mall yang tertata dengan cantiknya, ngomong-ngomong soal tinggi ya pasti aku jauh banget lah dari dia, apalagi aku yang cuma 168cm ini pasti bakal keliatan mungil.
                DO pun memanggil dengan nada suara yang dibuat sesopan mungkin, “Tuan Kris” hingga membuat orang yang bernama Kris itu menoleh.
                HUWAAAA!! Ya Tuhan, ini ini gak mimpi kan? Aku terdiam sejenak menatapnya, mata hazelnya mengingatkanku dengan seseorang, hidungnya yang mancung, alis matanya yang tebal, bibirnya yang seksi haduuuhh, aku menelan ludah beberapa kali, belum lagi dia memakai kemeja putih dan black suit yang terpasang dengan gagahnya. Tunggu dulu, dia.. dia.. dia itu seseorang aku suka dari setahun yang lalu kan? Cinta pada pandangan pertamaku yang jatuh cinta saat dia lagi ciuman sama ceweknya. Selama ini aku pikir aku kagum dengan caranya mencium gadisnya dengan cara yang lembut, tapi sekarang. Aku positif terserang infeksi jatuh cinta kronis pada pandangan kedua.
**
Kris’s POV
“Kristanius Alva Stevano dengarkan ayahmu bicara!!” bentak lelaki paruh baya itu padaku. Kerutan-kerutan di wajahnya yang renta itu semakin terlihat jelas ketika beliau marah, “papa tegaskan sekali kamu sekali lagi berhenti melakukan perbuatan yang bisa mencemarkan nama baik keluarga.”
Aku bisa melihat dengan jelas dadanya bergerak naik turun menahan emosi, aku masih tetap tak beranjak dari kursi kebesaranku, “C’mon dad itu Cuma selembar foto masalalu. Foto ciuman yang diambil tahun lalu. Sudah sangat lama. Relasi bisnis tak akan sebodoh itu kan langsung memutuskan kontrak perusahaan Cuma karena selembar foto ciuman? Konyol!”
Ini benar-benar berlebihan dan mengungkit hal ini benar-benar membuat dadaku terasa sesak. Bukan karena mendapat bentakan dari ayahku tapi lebih ke memori di mana aku berusaha mengubur hal ini dalam-dalam. Mengingat dengan siapa wanita yang ku ajak berciuman di dalam foto itu benar-benar mengacaukan pikiranku.
“apa kata orang kalau anak pewaris tunggal perusahaan terbesar ke 7 di Asia Tenggara memiliki attitude yang tidak baik. Kita berada di negara yang menjunjung tinggi sopan santun!”
Akhirnya aku tak tahan lagi, “aku sudah meninggalkan dunia model, hobi dan satu-satunya kebahagiaanku sudah kukubur dalam-dalam dengan mengikuti desakan papa yang menyuruhku bekerja di sini. Tapi aku minta papa berhenti mengurusi urusan pribadiku” kataku memberikan penekanan di akhir kata.
Yah. Sifat keras kepala, pantang menyerah, jiwa pemimpin dan tak suka di atur dari ayahku sekarang sedang mengalir deras dalam darahku di setiap aliran urat nadiku.
“mulai sekarang aku akan belajar mandiri dan kuharap ayah tak mencampuri urusanku sekarang” kataku sebelum keluar dari ruangan ayahku.
*
Kopi hangat dari salah satu hasil panen kebun kopi terbaikku terhidang dengan nikmatnya di sini. Mataku menangkap sosok perempuan yang sedang bekerja di ujung meja. Ia tengah sibuk membersihkan sisa makanan pengunjung dengan semangat, kadang-kadang ia menghembuskan napas dari mulutnya sampai pada meja pengunjung yang memesan Cappucino float. Ada bekas Cappucino float yang tersisa separuh. Ia menatapnya dengan mata berbinar dan langsung menyedotnya sampai habis. What? Memakan sisa pelanggan? Itu menjijikan.
Aku mengalihkan pandanganku padanya dan kembali berkutat dengan iPadku. Membereskan pekerjaan kantorku yang tadi sempat tertunda karena kedatangan dari ayahku membuat konsentrasiku buyar. Aku tertegun sebentar. Gadis itu? Siapa namanya? Mello? Ah ya. Aku masih mengingat dengan jelas saat ia datang melamar pekerjaan langsung padaku.
Ia membeku saat menatapku. Ya jelas aku masih melihat dengan jelas tatapan mata terpesona yang biasa aku lihat pada gadis dari kalangan manapun yang baru saja melihatku padanya. Tapi ada tatapan lain yang menggelitik rasa penasaranku. Seperti tatapan rindu? Dari matanya.. aku bisa melihat pikirannya jauh menerawang saat melihatku, rasanya seperti melihat ribuan mil jarak di dalam bola mata hitam jernihnya itu.
“woy bro, melamun aja” sapa JB yang datang-datang langsung menyentuh kopi–yang aku bahkan belum meminumnya- milikku.
“sialan” rutukku. Oh ya asal tahu saja, namanya Jae. Kupanggil JB kalau di tempat umum, bukan Justin Bieber karena mukanya benar-benar tidak pas dan tidak mirip dengan artis Hollywood itu. JB artinya Jae B*bi hahaha. Entah kenapa aku lebih senang memanggilnya begitu padahal mukanya lebih mirip monyet.
“lagi mikirin cewek ya?!” tanyanya to the point. Sial kali ini tebakannya benar. Aku kan lagi mikirin pelayan itu.
“gak, ngapain?” dustaku sambil buru-buru menyimpan iPadku. Percuma juga mengerjakan pekerjaan kantorku di sini, kedatangannya jelas tak membuatku bisa berkonsentrasi mengerjakannya.
“kali-kali aja, tak biasanya kau melamun seperti tadi, kulihat matamu juga sibuk menatap pelayan baru itu” selidiknya.
“haha konyol” sahutku, “siang ini bantu aku beres-beres, aku mau pindah rumah” aku menjentikkan tanganku menunggu pelayan dapur yang datang, kopi hangat harus tersedia lagi di sini. Jatahku kan sudah diambil ini. Memikirkan gadis itu cukup membuatku haus.
*
Mello’s POV
                kak coba lihat rumah itu.. kapan kita punya rumah tingkat kaya itu ya?” Odult adikku yang bertubuh besar itu menemaniku di depan pintu masuk yang tengah sibuk menatap sebuah rumah besar mewah di seberang rumah kontrakanku.
                “ntar ya dek kalo kita kaya nanti, kalau ayah sukses dagangnya dan kalo aku udah gak kerja jadi pelayan” mataku sibuk memandangi bagian rumah itu yang benar-benar menarik perhatianku.
 Ya! Balkon yang menghadap ke sebelah timur itu benar-benar mengagumkan, kata Bora rumah itu gak ada yang ninggalin, Cuma tiap hari para pembantu dan tukang kebun yang bolak balik buat ngurusin rumah itu. Woah sang pemilik mungkin benar-benar orang kaya yah masa rumah semewah itu dibiarin gak berpenghuni. Aku dan Odult tenggelam dalam pikiran kami masing-masing.
                Sayang rumah kami hanya memiliki satu tingkat, ya lantai dasar itu merupakan tempat tidur, makan, mandi dan segala macam tempat digunakan di lantai bawah itu, padahal aku membayangkan sebuah rumah bertingkat dua dengan kamar di atas. Jadi setiap aku membuka jendela untuk yang pertama kalinya ku lihat seluruh pemandangan di pagi hari.
Ketika aku bersantai di sore hari dengan secangkir teh hangat  beraroma melati di tangan sambil melihat para remaja berusia belasan tahun yang sibuk membentuk otot di tubuhnya dengan olahraga sore. Tapi...itu semua hanya mimpi..mimpi... aku menghela napas panjang.
Mataku kembali menatap nanar pada sebuah kamar di rumah kosong itu, tumben sekali lampunya menyala.
“kak ayo masuk, aku sudah kedinginan” ajak Odult yang tengah sibuk membuat ekspresi kedinginan dengan mulut yang sengaja di monyong-monyongkan.
“iya iya ah” aku mengacak rambutnya pelan sambil menutup pintu rumah kami. “jadi besok kamu pulang ke rumah?” tanyaku.
“iyalah kak masa ngebangke di sini. Odult sudah gak sabar pengen tanding bola sama teman-teman”
“dasar bocah kampung” ejekku. Ia terkekeh pelan.
“kak Mello, aku mau ngasih liat idolaku” Odult memainkan handphonenya dan menyuruhku untuk mengaktifkan bluetooth.
“mau apa? Ngirim foto Cherrybell? Sorry dek aku gak demen chibi-chibi hahaha” kataku sok tau.
“bukan kak, coba liat dulu” dia menunjukkanku sebuah foto yang sukses membuat mataku hampir melompat keluar kalau saja bisa beneran melompat kaya di anime-anime.
“astaga Oduuuuult!! Foto apaan itu??!! Jauhin dari mataku yang suci ini hiii!! Itu foto siapaa???!!” tanyaku histeris melihat pemandangan gadis bergaya erotis di layar handphone murahku. Kalau aja aku cowok mungkin aku sudah menelan ludah berkali-kali.
Adikku yang unyu munyu ini yang bahkan baru aja berulang tahun ke 19 ini sudah memiliki koleksi foto-foto seperti itu. Ku kira dia masih demen yang unyu-unyu gitu deh.. taunya..... aku menatapnya dengan pandangan ngeri.
“jangan diaduin sama ayah ibu ya kak, kan Odult udah gede bukan bocah ingusan labil lagi” ia mencoba berkilah dari tatapanku yang siap sedia untuk menerkamnya dengan jarak sedekat ini.
“itu siapa??”
“itu Miranda Kerr kak, model dari Aussie, aduhai tubuhnya kak, coba kakak seseksi dia mungkin sudah laku dari dulu” katanya. Aku menelan ludah menahan emosi, hggg. Ini ngejleb tjoy, semenjak putus sama Beki aku memang gak pernah menggandeng cowok lain, daaan kesannya aku kayak masih belum move on dari dia.
Kata orang nih ya, umur sekitar 20an itu masa seorang gadis remaja lagi mekar-mekarnya, lagi berada dalam sisi tercantik kehidupannya di masa antara bocah-dewasa. Lah aku? Aku merutuki diriku sendiri. Tak ada yang bisa di banggakan dari seorang Priscilla Nada Melody.
“au ah, sana tidur nanti besok ketinggalan bus” aku langsung berbalik dan langsung meninggalkannya ke kamar.
“idih gitu aja kok ngambek sih ka” aku berani bertaruh ia sedang memonyongkan bibirnya.
“kak kalo suka ngambek cepat tua loh ya” yang ini pasti posenya lagi memperlihatkan matanya yang bulan sabit itu ketika tertawa sambil memperlihatkan giginya sambil sesekali membasahi bibir bawahnya dengan lidahnya. Melet maksudnya. Aku tak menyahut.
“ah tau ah kakak, yaudah deh good night ya.” Nah ini pasti dia lagi garuk-garukin belakang kepalanya sambil berjalan menuju kamarnya. Brak. Nah benar saja, suara pintu kamar di tutup.
Aku terkekeh geli, segera saja kuraih handphone murah bututku yang berapa kali soak demo minta di ganti. Kaya pernah lihat muka cewek ini tapi di mana ya. Aku mengamatinya dengan seksama model bernama Miranda Kerr ini. sebelah tanganku menutupi bagian tubuhnya yang seksi hingga hanya bagian kepalanya yang terjangkau penglihatanku. Hffttt. Namanya juga artis mungkin bolak balik stasiun TV yang membuatnya terasa familiar.
Aku menghembuskan napas berkali-kali. Hape butut yang tak pernah bernyanyi lagi semenjak aku menyandang status jomblo ini akhir-akhir ini gak melakukan aksi demo ngehangnya. Ohiya, jelas saja tak ada orang yang menghubungiku karena aku tak pernah membalas sms mereka, aku tak pernah mengisi pulsa sebelum kartu sim bututku ini memasuki masa tenggang. Makluuum. Maklumin aja ya lagi irit duit dan hanya bisa mengandalkan gratisan kalo operator hapeku lagi baik hati ngasih gratisan bagi jomblowati kere ini.
Aku menatap langit-langit kamarku. Ah iya, mengenai pemilik cafe tempatku bekerja itu... aduhai siapa sih namanya tadi? Kris? Kristanius Alva ya? Mr.Armaniku. pangeran berkuda putihku. Mr. Limited editionku yang luar biasa tampan dengan wajah kaya model iklan pakaian pria yang ganteng-ganteng itu loh.
Aku bahkan bisa membayangkan lekuk tubuhnya dari jas yang ia kenakan. Apalagi kalau ia memakai kemeja putih dengan lengan kemeja di gulung sampai siku.. aku bahkan beberapa kali mengusap bagian bawah hidungku takut-takut kalau mimisan hehe. Gimana cara kenalan sama dia ya? Harus cari cara. Aku membatin. Tapi dia cuek bingit. Jarang senyum ckck.
Apa emang setiap para eksekutif muda itu selalu bertingkah sok cool gitu ya? Karena ia publik figur bagi para singlewati di kantornya?mungkin itu yang bikin dia digilai para wanita. Mungkin sekarang para wanita bosan dengan cowok yang perhatian sampai jatuh cinta sama cowok macam dia. Cowok perhatian itu terlalu mainstream...
*
Kris’s POV
                “Woy Odult buruan deh ini udah telat tau aku mau masuk kerja!!” hoamm... buru-buru aku membuka mataku. Teriakan dari gadis di seberang rumahku benar-benar sukses menghancurkan tidur nyenyakku, suara yang memekakkan telinga benar-benar menggangguku! Great! Aku mencoba mengintip dari balik jendela kamarku.
                “Mello?” desisku. Astaga gadis heboh ini bisa-bisanya muncul di depan rumahku. Mau apa dia? Aku mengedikkan bahuku. Pagi yang menyenangkan harusnya dan sialnya aku baru menyadari kalau aku memiliki tetangga yang benar-benar mengganggu jadwal istirahatku.
                Kulirik jam sudah menunjuk ke angka 6, ah.. aku lupa kalau Bi Ina sibuk mengurusi anaknya yang baru saja lahiran dan baru bisa kesini siang hari. Aku menggerutu kesal dan bergegas meraih handuk yang tersampir di dekat tempat tidurku. Mau tak mau aku harus ke kantor hari ini ada atau tak ada sarapan pagi.
                Usai mandi aku bergegas meraih roti hambar beserta sehelai keju dan menyumpalkannya di mulutku sendiri sambil bergegas menyalakan mobil. Rumah yang kuyakini rumah Mello itu kini tampak sepi.
*
                “engg.. pak, saya ganggu gak?” dengan lancangnya si Mello meraih kursi di seberangku dan mendudukinya. Matanya menatap nanar ke arah Coollata Cappucino yang tadi kupesan.
                “apa?” tanyaku acuh tak acuh berusaha mengabaikan tatapannya di minumanku.”harusnya kau menyelesaikan tugasmu, Mello” sindirku.
                “tugas saya sudah selesai pak, dan tak ada sisa Cappucino untukku” matanya masih menatap minumanku yang daritadi belum membasahi kerongkonganku. Hilang sudah rasa hausku.
                “minum tuh” kataku.
                Tanpa babibu dia langsung mengambil minumanku dan menyedotnya sampai tinggal separo, “nih pak, saya sisakan buat bapak” ujarnya sambil nyengir kuda.
                “ogah” tolakku kasar.
                “eh pak, berarti kita tadi sudah ciuman tidak langsung dong” ia langsung menyentuh permukaan bibir bawahnya dengan kedua mata yang masih memandangku takjub, aku yakin dia sedang berpikir yang tidak-tidak dengan bibirku.
                “in ur dream! belum ku minum juga” dih ngarep banget nih cewek, “kau Cuma ingin menghancurkan konsentrasi kerjaku apa Cuma ingin menghabiskan minumanku?!” mengganggu saja. Baru kali ini aku punya pelayan selancang dia.
                “widih pak galak amat jadi atasan hehehe. Yaudah pak tadi saya Cuma mau nanya sesuatu. Yaudah gak jadi pak..” ia langsung menggeser posisi duduknya. Lah kenapa dia yang ngambek sih? Kurang ajar.
“nanya apa?” tanyaku akhirnya. Baiklah kali ini aku akan mengalah dengan seorang gadis miskin macam dia.
Ia tersenyum menang, “engg pak, bapak itu mantan model fashion sama mantan model di majalah bukan?” tanyanya. Bah! Hahaha ternyata dia salah satu fansku ketika aku masih jadi model toh. Pantas saja dia membeku gitu ketika bertemu aku waktu itu, mungkin semacam acara jumpa fans.
“iya, kenapa?” tanyaku pura-pura penasaran.
“oh, gak papa pak” dia menggaruk kepalanya, “berarti selama ini bener tebakanku kalau dia itu model majalah porno” gumamnya. Well itu bukan gumaman mungkin sebuah pernyataan karena aku bisa dengan jelas mendengarnya dari tempatku, tapi, tadi dia bilang apa? Majalah porno? What?
“HAH??!! Apa kau bilang tadi? model majalah porno?” kali ini giliranku yang penasaran dengannya.
“loh iya kan pak? Tadi bapak bilang iya, kenapa sekarang malah kaget begini?” tatapnya tak mengerti. Astaga, tadi kan kau hanya menanyakan apakah aku mantan model apa tidak kan gadis tolol?
“memang mantan model majalah tapi bukan majalah porno!” kataku sambil menggertakkan gigi bawahku.
*
Mello’s POV
                “hadooh kacau kacau kacaauu, tamat riwayatku” aku memutar-mutar rambutku yang dikuncir dua itu dengan imutnya.
                “hmmm...” aku menatap seragam pelayanku dan kembali menggaruk-garuk kepalaku,”huwaaaaaa” oke kali ini aku benar-benar stres. Stres gara-gara sikapku yang suka lancang ini.
                “kenapa sih Mell?” sapa seseorang yang membuatku menghentikan aksiku. Aku memamerkan fakesmileku padanya.
                “lagi ada masalah ya Mell? Cerita coba” ajaknya yang langsung menyampirkan kain lap di bahunya dan membetulkan letak topinya.
                “aahhh DO...” aku menghampirinya dengan ekspresi terjelekku.
                “kenapa?” tanyanya.
                “Yo...”
                “ada masalah?”
                “Yo, DO..”
                “apa apa?”
                “Yo, DO, De I O, Dioooooo” kayaknya aku bentar lagi gila.
                “apa Mello??” tanyanya ikutan frustasi padaku.
                “kayaknya umurku kerja di sini bakalan lebih pendek deh” akhirnya aku menjelaskan ketakutanku. Halah mengingat kata kerja mengingatkanku dengan Pak Kris lagi Mr.Limited Editionku, dan itu makin mengingatkanku dengan umur kerjaku yang makin pendek ini, masa nanti aku harus pulang ke kampung gak bawa duit.
                                Apa kata orang kampung nanti, Cilla yang di TV pengen jadi dokter dan Cilla Melody di kampung mereka Cuma kerja jadi pelayan seminggu abis itu dipecat gara-gara debat sama pemilik cafe. Gak lucu banget kan?! Siapa sih aku lancang banget punya masalah langsung sama atasan.
                Emang kedengerannya konyol sih kalau sampai aku dipecat gara-gara aku salah ngira dia model majalah porno, sebenarnya itu sih Cuma akal-akalanku aja biar bisa ngomong sama dia, ia bisa sih ngomong sama dia tapi taruhannya di nasibku sekarang, haaah, nasib nasib..
                Kutelusuri wajah DO dengan seksama. Lucu kok, imut lagi. gak malu-maluin di ajak jalan, malah kataku tampangku yang malu-maluin kalau di ajak jalan. Kayaknya sih dia tipe-tipe pasif gitu, pasrah selalu di beri dan kecil harapan untuk memberi. Suaranya juga OK, selain jadi kasir di sini kan tiap malam dia kerja di cafe jadi penyanyi.
                Baru aja aku ingin menyingkirkan masalahku sendiri dari benakku bayangan Mr.Limitku kembali hadir dan membuatku bergidik ngeri.
                “hoy..hoy Mello” DO terlihat panik melihatku kembali membeku untuk kesekian kalinya.
                “engg.. kayaknya aku lagi gak enak badan deh DO, jadi ngelantur gini kan. Aku bisa ijin pulang duluan kan?” buru-buru aku menutupi kegugupanku karena malu ketauan pikiran lagi gak di tempat kerja.
                Mana tadi aku ngelamunin pak Kris, dia juga kenapa gak mampir hari ini? aku udah ngecek tanggal loh, ini hari jum’at, gak biasanya dia gak mampir ke sini walau Cuma sekedar ngopi. Takut aja kalau-kalau dia illfeel gitu sama cafenya gara-gara punya pelayan macam aku. Aku jadi makin frustasi kan sama pemikiran-pemikiran miringku yang terdengar cukup lebay ini. Pemikiranku atau otakku sih yang miring?! Ah, sudahlah.. aku migrain...
*
Kris’s POV
                “akkhhh..” aku meringis seharian di tempat tidur. Sial. Bi Ina masih sibuk sama keluarganya dan aku Cuma minum Vodka tanpa melanjutkannya dengan makan malam dan pagi ini sukses membuatku hangover di tambah dengan perutku yang melilit.
                Sial, siapa yang biasa ku mintai bantuan pagi ini?
                Buru-buru aku meraih ponselku dan menghubungi asistenku. Yah malah mbak-mbak Veronica yang menjawab teleponku. Ohiyaa, aku kan sudah menyuruh dia untuk menghandle semua tugasku dari kemarin.  Mungkin dia lagi rapat dengan klienku yang dari Italy itu.
                Jae? Jangan harap ia bisa membantuku pagi ini.
                Arrgghh, rasanya aku harus keluar rumah nyari makan, tanganku sibuk menggapai kunci mobil yang tergeletak di atas meja dekat lampu tidur.
                Plung.. yes!! Tolol!! Tuh kunci bergeser dari tempatnya semula dan sukses menjatuhkan diri di antara dinding dan bagian belakang meja yang terbuat dari pohon jati kualitas super yang sangat sulit untuk di geser ini. sial sial.
                Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan keluar masih menggunakan kemeja kantorku berharap ada tukang bubur yang lewat, aku harus mengisi perutku, dengan apapun itu.
                Aku berjalan pelan karena pusing yang masih mendera dan perut yang nyeri ini sampai akhirnya ketika di tikungan jalan di dekat rumahku sebuah sepeda motor nyaris menabrakku itu sukses membuat tubuhku limbung dan terhuyung ke belakang dengan siku yang menggesek dinding beton.
                “sialan” umpatku pada pengendara motor.
                “sorry bung” kata pengendara motor yang berhenti sejenak di dekatku dan langsung meninggalkanku.
                Maaf? Maaf takkan mengembalikan sikuku yang tergencet ini, “brengsek” umpatku lagi. Sekarang bukan hanya kepala dan perutku yang nyeri, sikuku juga!
                Tiba-tiba seseorang dari kejauhan memperhatikanku dan akhirnya datang menghampiriku. Mello.
                “bapak? Bapak kenapa? Sini saya bantu” dengan cekatan dia memapahku yang sudah sangat lemah ini, “pak kenapa ke sini? Pake baju semalam ya? Bapak mabuk? Bapak mau kemana? Ke rumah saya?” aduuhh bisa gak sih dia gak bawel sehari aja, gak ingat apa aku lagi sakit gini.
                “mau nyari makan” sahutku pendek.
                “loh, rumah bapak dimana? Kenapa nyari makan di sini?” tanyanya bingung tapi terus saja memegangiku.
                Shit, tanyaan macam apa lagi itu? Bukannya dia tiap hari terus-terusan memandang ke bagian atas rumahku? Ke kamarku? Ok kalau boleh jujur aku sering menangkap basah dirinya yang lagi menatap balkon dan jendela kamarku.
                “gak usah basa basi, buruan antar pulang, udah mau pingsan ini” protesku.
                Dia mengernyitkan dahinya, “lah terus saya nganter kemana ini?”
                “tuh..” jawabku malas-malasan sambil menunjuk ke rumahku, udah tau masih aja nanya.
                Matanya membesar dan dapat kulihat dengan jelas mukanya yang merona merah dari kulit wajahnya yang putih bersih itu. Aku ingin menyindirnya habis-habisan tapi keadaan sedang tidak memungkinkan begini. Akhirnya aku hanya bisa pasrah membiarkan Mello yang memapahku menuju ke rumahku.
                “bapak sakit apa? Daritadi meringis terus, maag? Telat makan ya? Apa gara-gara minum kopi terus?” nahkan mulut bawelnya kembali beraksi sementara ia merapatkan tubuhnya melewatiku untuk mengambil bantal. Ah, dengan jarak sedekat ini aku bisa mencium bau tubuhnya yang lembut itu, ahh, ada apa ini? buru-buru aku memundurkan posisiku dan membuatku semakin tersudut.
                “rebahan dulu pak” dia merebahkanku di atas ranjang.
                “nah istirahat dulu ya pak nanti saya masakin bubur buat bapak, ada bahan makanannya kan di dalam?” dengan sigap ia menggulung rambutnya ke atas dan memperlihatkan lehernya dengan jelas.
                Aku mengangguk lemah sementara mataku mengekori kepergian. Damn! Ada apa ini? she’s totally awesome. Hanya dengan melihatnya menggulung rambutnya ke atas yang memperlihatkan leher dan anak rambutnya yang berserakan di sisi belakang lehernya cukup membuat bagian bawah tubuhku berdenyut nyeri. Yeah.
                 Leher adalah salah satu bagian terseksi dari tubuh wanita. Apalagi dia selalu mengenakan baju sopan ketika bekerja dan rambut yang selalu diikat dua bak anak desa itu benar-benar seperti gadis desa polos yang menggemaskan jadi jarang-jarang kalau dia terlihat seksi seperti ini.
                Kalau dibandingkan juga sebenarnya dia tak ada apa-apanya dengan mantanku– yang aku tak akan menyebutkan namanya- itu. Badannya benar-benar bagus, yaiyalah model yang sudah Go Internasional.
                Mello dengan tubuh mungilnya yang bahkan hampir setara dengan ketekku ini Cuma sedikit lebih tinggi memiliki kulit putih bersih dengan wajah standar tapi cukup imut dengan pipinya yang tembem itu. Dada? Standar tapi sewaktu ia membantuku tadi aku bisa merasakan dadanya yang lembut menekan lenganku. Kaki? Tidak jenjang tapi tak berlemak lah, yah pokoknya semuanya serba standar. Pelan-pelan kuendus lengan kananku, bau lembut yang menguar dari tubuhnya itu masih menempel di bajuku. Hmmm.. ini menyenangkan.
                “pak, buburnya sudah jadi” dia datang dan membuyarkan lamunanku yang aneh itu, gimana gak aneh? Selama ini aku selalu mengalami kesulitan dalam mengingat orang apalagi wanita. Hahaha, ini gila!
                Terlalu banyak wanita yang datang silih berganti di dekatku dan tak ada yang berhasil kuingat sepenuhnya. Kalau gak lupa namanya ya lupa wajahnya. Lagipula aku sudah mengubur rasaku terhadap wanita semenjak aku mengucapkan janji itu. Tapi kenapa aku malah memperhatikannya?
                “pak umurnya 24th kan?” tanyanya untuk kesekian kalinya.
                “hmmm” aku mengangguk mengiyakan. Sementara ia membantuku duduk di tepian ranjang sambil membersihkan sikuku dengan alkohol yang di ambilnya di kotak obat.
                Aku membuang muka menjauhi mukanya. Jarak kami yang dekat ini membuatku bisa dengan jelas melihat kepolosan yang terpancar dari wajahnya. Yah tak ada yang bisa di sembunyikan dari dirinya mengingat wajahnya yang penuh ekspresi ini dan sikapnya yang ceplas ceplos + bawel ini.
                “oh, aku 21th pak”
                “gak nanya” sahutku pendek.
                “ya ngasih tau pak sekedar info” jawabnya salah tingkah.
                “ngapain ngasih info? Emang lagi sensus penduduk?!”
                Dia terdiam. Tapi aku bisa melihat dengan jelas sorot kesal yang terpancar di wajahnya. Haha ini menggelikan. Dia akhirnya beranjak dari posisinya semula usai membersihkan bagian tubuhku yang luka.
                “heh mau kemana?” aku bertanya ketika kurasa dia benar-benar kesal padaku.
                “ya mau pulang lah pak saya mau mandi, masa mau mandi di sini” jawabnya yang terdengar ketus di telingaku.
                “gak boleh” cegahku. Aku masih ingin mengamati wajah polosnya itu ketika sedang marah.
                “emangnya kenapa lagi?” tanyanya gusar.
                “suapi aku” pintaku.
                “hah? Bapak kan udah gede masa masih disuapin?” tanyanya bingung.
                “gak inget apa sikuku luka begini?” aku mengingatkan.
                “tapi kan yang luka siku bukan tangan, emang bapak gak bisa gerak pelan-pelan apa?!”
                “males” jawabku enteng. “suapi atau gajimu kupotong 20%” ancamku.
Mello’s POV
                “males” jawabnya seenaknya, “suapi atau gajimu kupotong 20%” ancamnya. Hiihh kesel tau gak digituin. Apa-apaan sih maunya tuan muda nyebelin ini. kalau aja gak ada embel-embel gaji dipotong sama dia ganteng bin menawan dengan kemeja semalam yang semakin membuatnya semakin seksi aku gak bakalan mau nyuapin dia. Meskipun aku bisa melihat ia tak mempunyai otot seseram ade rai atau agung hercules tapi ia seksi, dengan pesonanya sendiri, rawr. Lah, otakku mesum lagi, ish pasti ketularan Odult -_-
                “ia pak” jawabku malas-malasan, “emang bapak gak kasihan apa sama saya kalau sampai gaji saya dipotong mau makan apa saya nanti, kalau sudah dipotong segitu mana sanggup saya mencukupi kebutuhan saya nanti..” tatapku dengan nada memelas, kali aja dia mau ngelepasin aku. Yah sebenernya sih aku mau nyuapin dia, tapi kalo inget sikap nyebelinnya itu napsu buat nyuapin dia udah menguap entah kemana.
                “penting gitu?” nahkan sikap nyebelinnya gak pernah ilang-ilang. Ih pengen kusumpal aja bibir seksinya sama roti biar gak bisa ngomong lagi.
                Alasan ketiga kenapa aku masih bertahan di rumah ini juga karena rumah tingkat dan balkonnya yang sudah menarik perhatianku sebulan ini. wah jangan-jangan aku sering ketahuan ngelirik ke arah balkon rumah dan kamar ini. Eh, emang pak Kris suka mandang ke arah rumahku gitu?! Idih geer banget sih kamu Mell. ah sudahlah jangan diingetin lagi. aku jadi malu sendiri.
                Aku menyendokkan buburku dan mulai menyuapinya perlahan. Semakin dekat, makin dekat dan sangat dekat.. suapan pertama berhasil. Astaga aku gemeteran, masalahnya cowok ganteng berlabel limited edition ini benar-benar menggoda iman.
                “gimana pak? Enak gak buburnya?” tanyaku takut-takut, kalo dia muji aku pasti aku bakalan seneng banget, kalo bisa sih di rekam dulu momen beginian(?).
                “hmm..lumayan.. gak bikin mati kalo di makan”
                Hiyaaah gubrakk!!meskipun mujinya setengah-setengah gitu aku seneng deh daripada dia muntahin makanannya terus menghina masakanku, mungkin aja dia lagi lapar banget jadi syaraf-syaraf di lidahnya udah mati rasa, yasudahlah paling gak dia mau makan, sabar-sabar Mell. Sabaaarrr..
                “pak masih muda udah kerja, udah jadi eksekutif muda ya” pujiku sambil terus menyuapinya buat ngilangin gugupku, bisa berabe entar kalo dia sadar aku lagi gugup.
                “iyalah kalo udah tua bukan eksekutif muda lagi namanya”
                Iya aja! Diginiin sama cowok idaman hati itu rasanya nyess... pantas saja banyak para pegawai yang mundur teratur sama dia, gak tahan sama sifat nyebelinnya! Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi,...huwooo ;;---;;
                “hmmm pak, suka nginep di rumah temen bapak ya? Siapa namanya? Bi? Abi?”
                “Jae namanya. Tau darimana?”
                “hehe, saya kan suka lewat depan bapak jadi gak sengaja nguping gitu” akuku malu-malu. “akrab banget ya pak sama pak Jae?”
                Ia tak menjawab karena aku masih menyuapinya, saking semangatnya sampai buburnya meleleh di sudut bibirnya. Refleks saja aku menyapukan jempolku ke sudut bibirnya. Woi kapan lagi bisa nyentuh bibir seksinya itu.
                Glek.. aku menelan ludah berkali-kali, “maaf pak bibirnya bikin meleleh” kataku tiba-tiba setelah menyadari kelancanganku.
                “hah?”
                “mmm...mak..maksudnya ada bubur meleleh di bibirnya bapak”
                Aduuhh Mello bego! Bisa-bisanya keceplosan begini, jangan-jangan Mello sekarang artinya bukan Melody tapi MELlo toLOl. Moga aja dia beneran gak nangkep apa yang pertama aku omongin, mati sajalah kalau ketahuan lagi terpesona sama wajah tampannya itu.
                Dia hanya memamerkan smirknya dengan muka judes abadi yang masih bertengger di wajahnya, “Mell, boleh nanya gak?”
                hah? Si ganteng nyebelin ini mau nanya? Nanyaa apa??!! >.< boleh banget ganteng! Tanyai aku tanyai aku >.<
                “bo..boleh pak, mau nanya apa?” tanyaku deg-degan.
                “kapan gak bawel lagi? berisik tau gak?!!”
                JDEERRR!!! Tanyaan apa sindiran itu? Ya Tuhan ;~~~~;
***
3 hari kemudian...
                “Baby don’t cry, tonight..” DO bernyanyi tepat di sebelah telinga kananku dan refleks membuatku mengelus-elus kupingku karena geli.
                “apaan sih DO?” aku mengacak rambutku frustasi. Ini bukan saatnya buat becandaan, ini masalah serius! Aku terancam di pecat.
“kamu kayaknya stres banget deh” katanya tiba-tiba, “kerja aja kaya mayat hidup, gak ada gairah sampe temen-temen yang niatnya mau godain kamu malah ngurungin niat mereka”
                “ah bodo lah sama mereka” jawabku asal, ini benar-benar masalah serius.
“eh harusnya kamu bahagia dong di ajak dinner bareng sama atasan sendiri, berduaan lagi” DO mencoba menghiburku. Tuhkan, apaan sih??!! Dinner bareng? Bareng pak Kris itu kaya semacam.........
“iyalah undangan makan malam berdua sama pak Kris itu semacam undangan pengambilan surat pemutusan hubungan kerja” aku menatap DO dengan pandangan ngeri.
Malam ini Pak Kris mengundangku makan malam. Daaan kabar simpang siur yang beredar di antara para pelayan cafe ini kalau aku ada hubungan spesial dengan beliau? What gimana bisa? Mr. Limitku yang benar-benar dingin, judes dan nyebelin ini bisa-bisanya digosipin sama aku? Kan gak elit banget kalau para kalangan atas yang mendengar gosipnya. Seorang putra pemilik perusahaan Stavano sekaligus pemilik cafe Stavano malah pacaran dengan seorang pelayan! Ckck dramatis sekali kan?
Aku malah beranggapan kalau beliau ingin memutuskan hubungan kerja denganku seenggaknya pemikiran burukku ini lebih rasional daripada ajakan makan malam dinner bersama pak Kris diiringi dengan nuansa romantis, huhuhu, apa aku mau di mutasi? Di permalukan di kalangan banyak? Apalagi kata kepala dapur tadi kalau beliau kemaren nanyain riwayat hidupku.
                Tunggu-tunggu.. apa aku mau di lamar sebagai istri? Istri kontrakan? Istri beneran? Huwaaaa pikiranku jadi makin ngelantur. Apaan sih Mell?!
“pothink dong Mell kan belum tau kebenarannya” DO berusaha menenangkanku yang jujur saja sampai detik ini kegelisahanku belum bergeser 1cm pun dari tempatnya.
“pothink apaan?” otakku mendadak konslet.
“positif thinking Melloooo” jelasnya.
Aku terdiam. Pothink-pothink ntar ujung-ujungnya juga potek. Patah hati. Pothink-pothink mau di lamar, taunya di lempar.
“di cafe mana tadi?” tanyaku. Percuma juga kan mikirin yang nggak-nggak, mending cepet-cepet kesana, ketemu dia dan liat apa yang akan dia lakukan pada seorang Mello.
“di cafe Pink Mell, jam 7 malam, mau kuantar?” tawarnya. Aduh ini cowok kok baik banget sih? Kenapa coba aku gak jatuh cinta sama dia aja. Gak bikin ribet terus juga kita kan satu kasta, sama-sama pelayan jadi impianku sama dia gak terdengar muluk kan?
“boleh, lagian aku gak tau tempatnya dimana, harus pakai dress?” tanyaku kikuk.
“hmmm gak ada suruhan pake dress sih. Tapi kalau kau mau kita bisa berangkat sekarang deh buat beli dress di sini” tawar DO lagi.
Aku buru-buru mengecek isi dompetku. Cuma ada selembar uang 50ribuan. Bah! mana ada dress seharga 50ribuan di mall semewah ini???!! Daster noh daster murah, masa aku harus ke sana pake daster?!
Aku mendesah pelan, “gak usah deh. Kalo emang bener di PHK kan ntar bisa-bisa aku benci sama dress itu”
“apa hubungannya di PHK sama benci dengan dress?” tanyanya tak mengerti.
“nggg itu loh kan di PHK, terus terus aku gak kerja lagi, terus mau jalan, liat baju eh ngeliat dress itu kan jadi keinget sama kejadian PHK itu” halah aku mengarang bebas, bilang aja gak ada duit Mellooo.
“hmmm” dia mengecek arloji di tangannya.
“udah keburu malam nih, yaudah buruan ganti baju ntar kita telat gara-gara macet dan pak Kris gak suka nunggu terlalu lama” ajaknya.
Aku mengangguk dan langsung melepaskan celemek kebanggaanku sebelum akhirnya aku masuk ke ruang ganti baju.
“hahh... apa hari ini hari terakhir aku pake kamu di badanku?” aku mengusap baju pelayan bertulisan Stavano cafe ini. kali-kali emang beneran di pecat aku harap aku masih melihat baju ini.
Dalam perjalanan aku lebih banyak diam, DO juga tak banyak bicara, mungkin merasa kalau aku lagi punya masalah hati.
“makasih ya DO” kataku yang lagi sibuk lepasin sabuk pengamanku. Cafe ini jelas lebih besar dari cafe tempatku bekerja di mall. Kan di mall punya batas wilayah masing-masing jadi ya gak bisa gede-gede bikin cafe.
“eh tunggu dulu” DO menghentikan gerakanku yang ingin membuka pintu mobil.
Ia membalikkan badanku dengan tiba-tiba. Merapikan poniku dengan sebelah tangannya sementara sebelah tangannya yang lain melepas ikat rambutku dan membiarkan rambut panjang bergelombangku tergerai, aku menahan napas. Aigoo~ malaikat! terakhir ia menyematkan jepit rambut –yang entah di dapatkannya di mana— di sisi rambutku, “nah kan begini lebih baik” gumamnya. Apa? Itu semacam ungkapan kata cantik secara tersirat kan?! Aku terkekeh dalam hati.
Dia menepuk-nepuk pundakku, “fighting Mell”
Aku tersenyum penuh arti sebelum turun dari mobilnya, bukan mobilnya sih... mobil pinjaman dari cafe yang bertugas buat nganterin pesanan dari pengunjung, tapi malam ini free dibooking DO buat nganterinku. Tuhkan, kurang baik apa coba?
Aku tersenyum kikuk saat melambaikan tanganku ke arah mobilnya yang perlahan menjauh meninggalkanku.
PERGILAH! INI KAWASAN ELIT! Aku tercekat membaca peringatan kasat mata yang tertera di depan kaca pintu masuk cafe Pink ini. mahal. Hanya kata itu yang terlintas di benakku. Yaudah lah ya, pasrah.
Akhirnya aku mulai memasuki kawasan elit itu sambil mataku dengan liarnya mencari sosok yang familiar di mataku. Nah itu dia Mr.Limited Editionku sudah sembuh. Sekarang ia dengan gagah dan tentu saja tampan mengenakan kemeja berwarna magenta dengan dasi yang sengaja di longgarkan dan kancing di kerah kemeja yang sengaja di biarkan terbuka dan lengan baju yang sengaja digulung sedikit ke atas membuatnya terasa liar di mataku, jas hitam kebesarannya sudah teronggok diam di belakang tempat duduknya.
Rambutnya yang di spike ke atas dan sedikit berjambul itu di cat warna gelap makin menambah kesan maskulinya. Berantakan tapi hot. Tanpa sadar aku jadi mengibas-ngibaskan sebelah tanganku di depan mukaku begitu menyadari tatapan matanya yang ternyata sudah memperhatikanku semenjak aku memasuki ruang cafe ini.
Damn! Aku merasa di telanjangi bulat-bulat kalau ia tak menghentikan tatapan mematikannya itu. Aku menghampirinya dengan ragu-ragu.
“duduk” dia bukan mengajak, nadanya seakan memerintahku dan tak ada nada keramahan yang berasal dari pemilik berwajah tampan ini.
“i..iya pak..” kataku gugup. Duh aku merasa tidak pantas berada di sini dengan bajuku yang bisa dibilang terlalu sederhana. Aku nggak di tendang dari cafe ini kan Cuma gara-gara pake baju bobrok?
Ia menumpukan kedua tangannya di atas meja, “mulai besok jam kerjamu ku batasi” katanya tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan matanya yang menusuk itu padaku. Ocidaaak! Aku sudah tertusuk di bagian hati.
“m..maksud bapak apa?” tanyaku gelagapan.
“Priscilla Nada Melody. Putri dari pasangan Andrea Heris dan Ria Kumala. Gadis berusia 21th yang sekarang seharusnya sudah mempersiapkan diri untuk ujian skripsi di sebuah fakultas ternama ternyata sedang sibuk bekerja di cafe Stavano sebagai pelayan.”
Mataku membelalak. Sejak kapan ia bisa mengingat dengan detil riwayat hidupku? Yah kalau soal darimana dia mendapatkan info tentu saja dari kepala dapur, tapi... untuk apa??!! Dan menurut sejarah yang diceritakan dari pelayan sepantaranku kalau Mr. Limit ku ini benar-benar serba irit, irit dalam hal menggunakan uang, bukan pelit tapi dia lebih suka menggunakan segala sesuatu miliknya sampai tak layak lagi, irit bicara dan irit dalam hal mengingat wajah seseorang yang tak ada hubungannya dengan keluarganya ataupun relasi bisnisnya.
Yah mungkin otaknya sudah di setting sedemikian rupa hingga ia bisa mengingat dengan jelas hal-hal kecil yang menyangkut perusahaan dan bisnis jasa makanannya, dan mungkin kali ini settingannya lagi kena virus gitu jadi bisa mengingat dengan jelas riwayat hidupku, hehehe.
“kau, harusnya sedang mempersiapkan diri untuk membuat skripsi kan?” tanyanya lagi sambil menyipitkan matanya.
“i..iya pak.. la.. lagi cuti pak, gak ada duit” aku menahan napas.
“aku menawarkan pekerjaan padamu, yaah kalau kau sih.. ini tidak bersifat memaksa” katanya akhirnya dengan senyum sok misterius.
“kerja apa pak? Kenapa kerjaku harus di batasi di cafe?” aku langsung takut, wah jangan-jangan...
“kerja jadi pembantu” Jelasnya.
“di...dimana pak?” tanyaku lagi.
“di luar negeri” jawabnya ketus.
“oh...” jawabku seadanya, jadi pembantu di luar negeri toh..oh luar negeri.. oohhh... luar...negeri?
“HAH??!! Jadi TKW pak?? Lah kalau jadi TKW saya pasti bakalan lama pulangnya pak, terus bagaimana dengan keluarga dan kuliah saya pak?” aku meledak seketika.
Gila aja jadi TKW, mungkin kalau sekarang aku lagi minum bisa saja aku menyemburkan minumanku tepat di wajah Mr.Limited Editionku ini. Pantas saja tak ada makanan atau minuman terhidang di sini, mungkin untuk menghindari hal-hal yang tidak diingankan seperti khayalanku ini.. mungkin...
“makanya kalau orang ngomong itu di cerna” bentaknya.
Duh..duh.. keceplosan lagi kan.. di bentak lagi deh, rasanya umurku makin pendek deh dari hari ke hari, ngedenger dia ngomong tiap hari itu tuh kaya deket sama penyakit yang merongrong hatiku terus terusan, sakit apa? Hati? Liver? Hepatitis C? Hepatitis Cinta..
Aku masih tertegun mencerna ucapannya tadi dari awal sampai akhir, oh iya yah kalau aku jadi TKW pak Kris gak mungkin ngebatasin jam kerja aku di cafe, hehehe
Mungkin kalau aku beneran jadi TKW aku udah lama di tendang dari cafenya dan terdampar di bagasi pesawat ckck.
“oh iya, jadi yang bener di mana pak?” tanyaku lagi.
“di rumahku lah” jawabnya yang kali ini bukan kebohongan lagi yang kudengar.
“HAH??!!” mau gak mau kata ini keluar lagi. hah huh hah huh apaan sih. Bisa-bisanya aku lancang begini, kalau-kalau aja pak Kris gak berada jauh di seberangku mungkin dia udah pingsan kali ya mencium bau mulutku. Diam-diam aku menghembuskan napasku melalui mulut dan mencoba menangkap bau-bau tak sedap yang keluar dari mulutku. Aku lupa terakhir kali aku sikat gigi kapan ya?
“lebay” sindirnya sambil bersandar di kursi. Juna’s style detected! Chef Juna yang ganteng kaya di TV itu, “tinggal bilang iya atau gak sama sekali” dia memberi pilihan. Duuhh.
“mau pak mau” jawabku cepat, Bebas... Mello terjun bebas.. “jadi kapan saya bisa kerja? Nngg.. gajinya berapa?”
Mpus, bodo lah dikatain mata duitan, duit emang segala-galanya sekarang bagi hidupku, tapi sumpah ya aku tuh suka sama Pak Kris itu gak mandang duitnya.
Kris’s POV
                Bah butuh duit rupanya nih anak. Batinku, “mulai besok, tiap pagi kau tiap hari siapin makanan sebelum aku berangkat kerja, malamnya juga begitu, jangan khawatir soal makan siang karena aku biasa makan di kantor, apalagi soal gaji, yang jelas lebih dari cukup untuk sekedar bayar kuliah apalagi makan sehari-hari” jelasku panjang lebar.
                “dih siapa yang ngehawatirin dia soal makan siang” gumamnya pelan. How how aku bisa mendengarnya Mellowati..
                “gimana Mell? Deal?” tanyaku lagi memastikan.
                “deal pak” katanya sambil tersenyum senang.
                “ohiya selama kau bekerja di rumahku kau boleh memanggilku Kris atau Alva, gege juga boleh, whatever you want lah. Buatlah suasana senormal mungkin karena aku gak mau ada urusan atau hal-hal yang berbau kantoran berada di rumahku” jelasku.
                Ia hanya menangguk-angguk tanda mengerti sampai steak daging lada hitam yang kupesan datang. Wiski Maccalan seharga 10jutaan pesananku dan segelas es jeruk untuknya.
                Ia terlihat canggung mengiris potongan steaknya sampai-sampai beberapa kali suara pisau dan garpu yang ia pegang menimbulkan bunyi dentingan saat bersentuhan dengan piring steak dan cukup membuat orang di sekitar cafe menatap ke arahnya. Ndeso...
                “payah” ujarku yang tak tahan melihat kekonyolannya dan langsung merebut potongan steak dan mengiriskan untuknya.  Apa kami terlihat seperti pasangan romantis? Cih.
                Mello hanya terdiam sambil sesekali mengerucutkan bibirnya. Diam-diam aku melihatnya dari sudut mataku. Lucu juga, apalagi pipi tembemnya itu, aku bahkan begitu bernapsu untuk sekedar mendaratkan kecupan ringan di pipinya itu. Hahaha gadis ini benar-benar bodoh.
                “nih.” Aku menjaga kadar gengsi dan harga diriku dengan tak bersikap ramah di depannya.
                99% wanita yang duduk dekat denganku pasti terkena heart attack karena jatuh cinta pada wajah tampanku dan ketika aku bersikap sedikit manis pada mereka.
                Dulu, jauh sebelum aku menutup hati dan perasaanku pada setiap wanita yang kujumpai....
                Jatuh cinta itu rumit dan sekarang aku lebih memilih dengan keadaan begini, tak membiarkan orang menyukaiku dan tetap menganggapku sebagai sosok yang dingin dan tak punya hati. Aku harap gadis ini tak menyalah artikan kebaikanku kali ini...
***
Gimana sodara-sodara?? Jelek ya, maaf soalnya aku pemula trs gak pinter bikin cerpen, maaf kalo settingnya bukan di Korea soalnya susah, mengenai bahasa, aku kurang pinter gunain bahasa baku jadilah bahasa abal begini-_-)/ komentarnya di tunggu ya^^

1 komentar:

  1. bacanya keingat caramello kiss-o, si ismi juga... bagus kok tapi sayang beb aku gabisa bayangin dikris asli klo karakternya gitu, kris sekarang lumayan bacot /eh?
    malah keingat ismi masa ;-;

    BalasHapus