Aku membereskan daganganku dan menunggu adikku
pulang menjajakan dagangan asongannya. Aku menatap ke langit¸sepertinya akan
turun hujan. Aku semakin cemas memikirkan Gilang.
“kak Agil!!” seseorang berseru kepadaku, aku menatap
kearahnya dan melambaikan tanganku yang berdebu itu. Seorang bocah berusia 6
tahun langsung memelukku.
“kakak, tadi jualan Gilang laku semua lo! Coba deh
ka lihat dagangan Gilang. Habis kan?”
Aku tersenyum kepadanya dan mengacak rambutnya,”iya,
Alhamdulillah J. Ayo kita pulang sayang”
Umurku dengan adikku hanya berbeda 4 tahun. Meskipun
aku masih kecil tapi aku merasa aku bukanlah anak kecil yang suka merengek
kepada orangtua. Aku ingin membuat orangtuaku bahagia, aku ingin membuktikan
kepada mereka kalau aku bias sukses walaupun aku tidak sekolah.
Seandainya aku bisa sekolah mungkin aku sekarang
sudah duduk di kelas IV SD dan adikku duduk di kelas I SD, aku dan adikku suka
sekali mengikuti pelajaran di SD Sukira. Meskipun kami hanya belajar melalui
kaca jendela namun itu tidak menyurutkan niat kami untuk maju. Toh,
guru-gurunya juga membiarkan kami belajar.
Satu-satunya orang yang kukenal di SD itu hanyalah
Pak Buhar, satpam sekolah itu yang mengizinkan aku dan adikku mengikuti
pelajaran di sana. Beliau benar-benar orang yang baik.
Aku dan adikku mempercepat langkahku karena hujan
mulai turun membasahi bumi. Namun kami terlambat, hujan turun sangat deras, aku
memutuskan untuk berteduh di bawah pohon beringin, aku takut adikku sakit.
“sssshhhh…kka..kak..Gilang..bbrrr,..ke..dinginan..huhhuuh”
adikku menggigil di sampingku.
“sabar ya adikku sayang :0” aku memeluk adikku
erat-erat.
Seseorang menyentuh pundakku yang membuatku
terlonjak kaget, “maaf anda siapa?” tanyaku kebingungan dengan jantungku yang
masih berdetak kencang.
“aku Raditya. Panggil saja aku Adit” lelaki yang
kira-kira berusia 10 tahun diatasku ini mengulurkan tangannya untuk menjabat
tanganku.
Akupun tersenyum kepadanya dan menjabat tangannya,
“iya kak Adit. Ada perlu apa ya kak Adit sama Agil?”
Raditya pun tersenyum, “oh jadi namamu Agil ya? aku
hanya kasihan melihat adikmu daritadi terus menggigil kedinginan, aku mau
memberikan kalian ini”. Dia menyodorkan sebuah payung berwarna abu-abu dengan
tulisan “Super Junior” diatasnya.
“ehmm..tapii..”
“sudah ambil saja gadis kecil.” Dia meletakkan
payung abu-abu itu di tanganku. Aku hanya menatapnya kagum dan tak terasa
airmataku mengalir.
“ayo kita pulang” ajakku kepada Gilang, tak lupa aku
mengucapkan terima kasih kepada Kak Raditya itu.
***
Sesampainya di rumah aku dan
adikku disambut oleh ibuku. Ibuku langsung memeluk adikku dan menyuruhnya untuk
ganti baju.
“kalian darimana sayang?” Tanya
ibuku
“maaf ibu, tadi kehujanan, tapi Alhamdulillah Bu ada
orang yang memberikan payung ini” aku menyodorkan payung abu-abu itu kepada
ibuku.
“oh, kamu tidak lupa berterima kasihkan kepada orang
itu?”
“iya ibu. Oh iya bu gimana keadaan ayah?”
“Sudah agak baikan nak. Jagain ayahmu gih, ibu mau
masak dulu.” Ibuku mengecup lembut rambutku dan meninggalkanku.
Aku berjalan menuju kamar ayahku, ayahku beberapa
hari ini memang suka sakit-sakitan, mungkin karena sekarang musim penghujan. Ayahku
ternyata sudah tidur, kupandangi wajah ayahku, terlihat sangat letih dan
kulihat lingkaran hitam kecil di sekitar matanya. Tak terasa airmatakupun
menetes, namun buru-buru kusapu karena Gilang datang ke kamar ayahku.
“kakak….” Tak berani diteruskannya kalimat itu
karena melihat ayah sedang tertidur pulas. “Gilang sudah selesai ganti baju,
kakak ganti baju aja dulu biar Gilang yang jagain ayah” kata Gilang dengan
setengah berbisik.
Aku hanya tersenyum dan meninggalkan mereka untuk
mengganti bajuku yang basah karena kecipratan air hujan.
Malam ini aku pasti tidur sangat kedinginan karena
rumah kami bocor apabila hujan turun sangat lebat. Bagaimana kalau sampai ayah
kedinginan? Bagaimana kalau sakit ayah tambah parah? Aku bergidik tak berani
meneruskan khayalanku sendiri. Kutenangkan diriku sendiri.
***
Aku kembali membereskan
daganganku dan menunggu adikku pulang ke rumah, 1 jam sudah berlalu dan magrib
pun telah tiba namun adikku masih belum muncul. Tak lama kemudian adikku datang
menemuiku sambil menangis, ada apa gerangan?
“Gilaang..kamu kenapa?” tanyaku
cemas.
“gilang tadi hampir ditangkap petugas kamtib kak L”
adikku menjelaskannya sambil terisak. Aku berusaha menenangkan adikku dan
mengajaknya pulang.
Lagi..lagi..hujan.. untung aku membawa payung abu-abu
pemberian kak Raditya itu. Aku dan adikku berlari-lari kecil menuju
rumahku. Namun langkah kami terhenti
begitu melihat sebuah mobil mewah berhenti di depan rumah kami.
Siapa orang penting yang datang ke gubuk reyot kami?
Batinku. Adikku juga tak kalah kaget, dengan segera dia mendekati mobil itu dan
menyentuhnya, namun aku mengisyaratkan kepadanya untuk segera masuk.
Meskipun kesal toh adikku tetap masuk juga, di dalam
rumah ada sebuah suara yang membuat bulu kudukku merinding, sebuah suara yang begitu
menyedihkan. Aku langsung mencari asal suara itu, aku berjalan ke kamar ayahku,
terhempaslah semua barang daganganku. Jantungku berdetak sangat kencang,
kulihat ibuku menangis keras mengguncang-guncang tubuh ayahku yang terbujur
kaku tak berdaya.
“ayah kenapa bu?” tanyaku sesenggukan
“ayaahhmuuu, nakk.. ayahmuu sudah tidak adaaa……”
Spontan saja aku dan Gilang yang daritadi
mengikutiku di belakang menghambur kepelukan ibuku. Gilang langsung mendekati
jasad ayahku “ayaahh jangan pergi yaahhh..” dia mengguncang-guncang tubuh
ayahku.
Aku tidak mengerti, kenapa ayahku tak dibawa kerumah
sakit? Kenapa ibuku meringis kesakitan saat aku memeluknya? Aku masih belum
mengerti. Mungkin adik dalam kandungan ibuku turut berduka karena ayah yang
belum sempat dikenalnya sudah tiada. Aku baru sadar kalau ada orang lain di
sini. Seorang pemuda yang terlihat salah tingkah melihat keberadaanku yang
kemudian menggeser tempat duduknya dengan kepala yang terus-menerus menunduk.
Siapa gerangan pemuda ini? Aku seperti mengenalnya.
Betapa terperanjatnya aku sewaktu tahu pemuda ini
adalah kak Raditya! Apa yang dia lakukan di gubuk reyot kami? Ibuku melepaskan
pelukanku dan berbicara dengan kak Raditya, meminta kak Raditya untuk
menemuinya di luar dan menyuruhku untuk menjaga jasad ayahku.
Aku hanya bisa menangis, kak Raditya memandangku dan
memelukku. “maafkan kakak ya Agil.. kakak tidak bermaksud…” dia sengaja tidak
meneruskan ucapannya. Beberapa kali ia mencoba menghembuskan nafasnya.
“apa kak?” tanyaku bingung
“kakak tidak bermaksud.. untuk membuat ayahmuu
seperti ini….”
Spontan saja aku terperanjat dan melepaskan
pelukannya, “KAKAK PEMBUNUUHHH!!!” aku langsung mendorong dan mengusirnya.
“maafkan kakak Gil, kakak tidak bermaksud untuk
melakukannya..itu kecelakaan..” dia berlutut di hadapanku.
“KELUAR DARI KAMAR AYAHKU!!” aku mengusirnya. Apa
yang telah aku lakukan? Seandainya saja ayah masih hidup pasti dia akan
memarahiku habis-habisan. Kak Raditya pun keluar dari kamarku.
***
Sebulan sejak kematian ayah beban hidup kami jadi makin
berat, ibuku menjadi pembantu rumah tangga. Malam ini majikan ibu tidak ada di
rumahnya, aku berniat untuk membantu ibuku menyelesaikan pekerjaan rumahnya dan
menyuruh Gilang untuk menjaga rumah, aku tak tega membiarkan ibuku bekerja
sendirian apalagi sekarang usia kehamilan ibu sudah menginjak bulan ke tujuh.
Aku berjalan menemui ibuku, aku mengetuk rumah
majikan ibu dengan perlahan, ibu yang membukakan pintu untukku.
“mau apa kamu kesini Agil?” Tanya ibuku
“agil hanya ingin membantu ibu.” Jawabku.
“tapii…” belum sempat ibuku menyelesaikan kalimatnya
aku langsung menjawab, “gak apa-apa bu. Sini agil bantuin.”
Rumah majikan ibu ternyata sangat besar, mana kuat
ibuku membersihkannya sendiri. Aku mulai mengelap seluruh lantai rumah ini.
Namun betapa terkejutnya aku sewaktu ingin mengganti air kotor, ibuku terjatuh
pingsan di dapur.
Aku langsung panik dan meminta bantuan dari luar,
kebetulan Mang Ujang seorang tukang becak lewat, beliau membantuku membawa
ibuku ke rumah Bi Inah teman ibuku yang seorang dukun beranak, aku takut
terjadi apa-apa dengan ibuku. Sementara Mang Ujang mengantarkan ibuku. Aku
mencari kunci rumah majikan ibuku dan langsung mengunci rumah majikan ibu,
kemudian aku menitipkannya pada tetangga.
Betapa lelahnya tubuh ini namun aku tetap berlari
menyusul ibuku ke rumah Bi inah. Ibuku masih pingsan, aku sangat khawatir.
Entah siapa yang telah memanggil Gilang sehingga dia sudah lebih dulu sampai di
rumah Bi inah.
Kondisi ibu sudah sangat parah, kata Bi inah ibu
mengalami keguguran dan harus segera di bawa ke rumah sakit, tapi aku tidak
mempunyai uang, siapa orang yang harus kumintai tolong? Dimana aku harus
meminjam uang? Arrrggghh…
Belum sempat aku meminta pertolongan ternyata ibu
sudah menghembuskan nafas untuk yang terakhir kalinya.
Oh Tuhan., cobaan apalagi yang Kau berikan untukku?
Aku sudah cukup menderita Ya Tuhan.
***
6 tahun kemudian…
Inilah aku seorang anak
yatim-piatu yang mulai beranjak dewasa, umurku sudah 16 tahun, adikku sudah
mulai menginjak remaja. Aku bisa menghidupi adikku sendiri dengan cara menjadi
tukang cuci. Walau terkadang aku harus menahan perih di perutku hanya untuk
melihat adikku supaya bisa makan.
Meskipun aku dan adikku tidak
sekolah tapi kami rutin mengikuti pelajaran di SMP dan SMA di desa kami. Toh
tak ada yang bisa menghalangi kami untuk bisa pintar meskipun kami hanya orang
miskin.
Pagi ini aku kembali mengambil cucian kotor milik
tetangga untuk kucuci di sungai, sementara adikku sekarang menjadi tukang semir
sepatu. Aku berjalan menuju sungai, namun aku merasa seseorang mengikutiku,
namun tak kuhiraukan, untuk apa seseorang mengincar anak yatim-piatu miskin
sepertiku?
Sesampainya di sungai aku mulai mencuci, gemericik
air sungai yang menyejukkan hatiku membuatku lupa akan segalanya, aku begitu
menikmati pekerjaanku sampai-sampai aku tak sadar ada seseorang mendekatiku
sampai di sungai. Dia menyentuh pundakku dan membuatku berteriak kaget. Tapi
tunggu dulu, sepertinya aku mengenalinya. Aku mencoba mengingatnya.
“kak Raditya?” tanyaku ragu-ragu.
“ternyata kau masih mengingatku Gil. Tak kusangka
sekarang kau sudah sebesar ini.” Kak Raditya tersenyum kepadaku.
“untuk apa kak ke sini? Belum puaskah kakak
membuatku menderita? Sekarang aku dan Gilang menjadi anak yatim-piatu kak!!”
tak terasa mataku mulai berkaca-kaca.
“kakak benar-benar minta ma’af Agil, ada apa dengan
ibumu?”
“kak tak perlu tau apa yang terjadi dengan
keluargaku, aku sudah cukup menderita. Apa hanya dengan minta maaf bisa
mngembalikan semuanya? Tidak kak!!” tak kusangka aku meneriaki orang ini.
“tapi kakak benar-benar menyesal Gil, sekaranglah
saatnya kakak membantu kamu dan Gilang. Kakak sudah janji sama almarhumah ibu
kamu untuk menyekolahkanmu dan Gilang sampai sukses seperti Kakak. Tapi waktu
kakak kembali ke rumah kalian. Kalian sudah tidak ada. Beberapa tahun kakak
mencari kalian namun tak kunjung ketemu juga, hingga akhirnya kakak bisa…”
“cukupp kak” aku memotong pembicaraan kak Raditya
“aku tidak akan sudi menerima bantuan dari kakak” hatiku masih sakit kak
semenjak kematian ayah, aku dan keluargaku sangat menderita.
Namun kak Raditya terrus menerus membujukku, dia tak
pernah absen menemuiku dan Gilang hanya untuk sekedar membawakan makanan,
memang sekarang aku dan adikku tak tinggal di gubuk kami lagi karena kami tak
punya cukup uang untuk membayar sewanya. Akhirnya kami sekarang hidup di kolong
jembatan beserta pemulung dan orang tak mampu lainnya. Gilang pun sudah
membujukku berkali-kali untuk menerima bantuan dari kak Raditya namun aku masih
bersikeras untuk menolaknya hingga suatu saat Gilang membuatku saadar akan
semuanya.
“tolonglah kak, terima saja bantuan dari kak
Raditya, toh kakak kan juga dulu bercita-cita jadi orang sukses, Gilang juga
pengen sekolah kak, buat apa kakak terus menerus mengingat kesalahan kak
Raditya? Toh itu juga murni kecelakaan kak, bukan maksud kak Raditya untuk
membunuh ayah. Tolonglah kak jangan egois seperti ini.. jangan buat ibu ayah
dan adik kita di surga kecewa kak, tolong fikirkan ini” ucapan Gilang kali ini
benar-benar membuatku sadar akan keegoisanku selama ini. Akhirnya kuputuskan
untuk menerima bantuan dari kakak raditya. aku dan adikku disekolahkan di
sekolah swasta berasrama dengan biaya yang cukup mahal. Diam-diam aku sangat
bersyukur atas bantuan kak Raditya kepada kami.
***
10 tahun sudah berlalu, aku dan
adikku sekarang sudah menjadi orang sukses, kami bekerja di salah satu
perusahaan Kak Raditya yang ternyata benar-benar orang kaya namun baik hati,
tak pelit dan sombong, buktinya dia rela membantu orang miskin dan dekil
sepertiku dan Gilang. Kulirik sebuah payung lusuh berwarna abu-abu yang
kupajang di kantorku.
Payung yang senantiasa
menemaniku dan Gilang dalam panasnya terik matahari dan tetes air hujan. Payung
yang mempertemukanku dengan kak Gilang. Payung abu-abu bertuliskan “Super
Junior” yang sekarang aku tahu maknanya. Kak Raditya memang membuatku dan
Gilang menjadi Junior yang hebat, yang pasti sekarang bisa membuat orangtua dan
adik kecilku tersenyum di surga J
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar